Sejarah Balai Penyelamatan Mpu
Purwa
Balai penyelamatan atau lebih dikenal Museum Mpu
Purwa Malang berdiri pada tahun 2003 di sebuah wilayah strategis dekat Jalan Sukarno
Hatta Malang, tepatnya komplek Perum Griyashanta, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan
Lowokwaru Malang. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan benda-benda cagar budaya
yang terdapat di Kota Malang, yang merupakan peninggalan dari zaman kerajaan
Kanjuruhan abad VIII M, hingga masa akhir kerajaan Majapahit abad XVI M. Di
halaman bangunan tersebut terdapat patung Joko Dolog dan sebuah Makara dengan
motif ikan dan gajah yang menghadap ke
pintu gerbang utama. Melangkah masuk ruangan Balai, kita akan melihat Prasasti
Muncang yang masih utuh dan tampak indah. Prasasti ini berisi tentang
pembebasan desa Munjang dari segala pajak kerajaan karena daerah tersebut
digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap “Hyang Brahma”atau Gunung Bromo.
Bangunan yang beratap joglo dengan kombinasi pintu
anjungan bergaya Spanyol ini memiliki ruangan besar untuk koleksi. Di dalam
anjungan tedapat tulisan yang diambil dari
bahasa Sansekerta yaitu: “GUNA PARAMITA ACINTYA BHAKTI” yang merupakan sesanti
sekaligus tahun Sangkala pembangunan Balai Penyelamatan tersebut. Dengan uraian
arti sebagai berikut:
Guna: Tabiat, sifat, memiliki nilai 3
Paramita : Sempurna, luhur, memiliki nilai 0
Acintya: Tak terlukiskan, tak terbayangkan, memiliki
nilai 0
Bhakti : Pengabdian, Kesetiaan, Memiliki nilai 2
Nilai
3002 jika dijadikan tahun harus dibalik sehingga didapat angka 2003. Sesanti
yang terkandung dalam Sengkala itu adalah: “Pengabdian yang tulus (tak terbayangkan)
merupakan sifat yang luhur.”
Balai Penyelamatan Mpu Purwa mengoleksi benda-benda
yang mengandung nilai sejarah dan budaya terutama yang berhubungan dengan
pertumbuhan Kota Malang sejak abad VIII M sampai tahun 1950-an. Sebenarnya
rencana untuk membuat Balai Penyelamatan benda-benda sejarah sudah di wacanakan
sejak tahun 1980-an. Dengan berbagai kendala adminstrasi dan lain sebagainya
realisasi dari Balai Penyelmtn ini bisa terlaksana pada tahun 2001 yang
penempatannya di gedung bekas SDN Mojolangu 2 Malang dan mulai beroperasi
normal pada tahun 2003.
Nama Mpu Purwa sendiri sebagai nama Balai
Penyelamatan ini juga ada pertimbangannya. Mpu Purwa sendiri adalah seorang
tokoh religius masyarakat Jawa kuno, beliau bukan seorang pendeta biasa,
melainkan seorang STHAPAKA (pendeta yang utama), nasehat dan petuahnya selalu
di tunggu oleh masyarakat kala itu. Karakter beliau adalah selalu berbudi
luhur, sehingga menjadi cikal bakal Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit
dan Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari, hal ini terjadi karena anak Mpu
Purwa yaitu Ken Dedes adalah sumber keturunan raja – raja tersebut.
Peran Balai Penyelamatan dalam
Dunia Pendidikan
Fungsi utama dari sebuah Balai Penyelamatan atau
Museum adalah sebagai lembaga yang diperuntukkan bagi masyarakat umum untuk
melihat kembali benda-benda atau arsip yang telah ada sejak zaman dahulu.
Tujuan dibuatnya Balai Penyelmatan Mpu Purwa ini adalah untuk mengumpulkan, merawat, dan menyajikan serta
melestarikan warisan budaya masyarakat untuk tujuan studi, penelitian dan
kesenangan atau hiburan.
Dalam kaitannya dengan Dunia Pendidikan bangunan
yang menyimpan benda purbakala bisa dijadikan media pembelajaran untuk peserta
didik guna lebih mengenal benda-benda bersejarah. Melalui pengenalan
benda-benda tersebut pendidik memberikan informasi dan wawasan sejarah dengan
cukup mudah karena apa yang diinformasikan terdapat bukti nyatanya. Ada
beberapa benda di Balai penyelamatan Mpu Purwa yang sangat baik diperkenakan
kepada peserta didik, salah satunya adalah Arca Ganesha Tikus. Arca ini menjadi
peninggalan teristimewa di Balai Penyelamatan karena konon arca unik tersebut
hanya terdapat di Balai Mpu Purwa tidak ada lagi di museum Indonesia lainya.
Makna tikus yang dibawah Ganesha mempunyai arti tersendiri, dan hanya
orang-orang yang mengerti sejarah saja yang mampu mengartikannya.
Selain mempelajari sejarah, di Balai Penyelamatan
tersebut bisa kita pelajari tentang beberapa tumbuhan yang menghiasi disekitar
halaman. Ada tumbuhan berupa pohon Bodhi yang dalam ceritanya merupakan pohon
untuk meditasi Sidharta Gautama dalam mencari ilmu agama yang suci. Pohon
tersebut letaknya terdapat di dekat Patung Budha yang sedang bersemedi.
Pendidik bisa memberikan informasi kepada peserta didiknya mengenai gerak-gerak
tangan dari Budha yang sedang semedi, karena setiap gerak yang dilakukan
memiliki arti tersendiri.
Namun dibalik banyaknya manfaat pendidikan dari
Balai Penyelamatan tersebut, ada suatu hal yang kurang mengenakkan. Hal
tersebut ketika penulis melakukan wawancara terhadap petugas penjaga Balai,
salah satu yang diinformasikan dari petugas adalah minimnya pengunjung dari
khalayak pendidik yang sekedar melihat di tempat ini. Rata-rata hanya seminggu
sekali ada rombongan dari peserta didik yang mengunjunginya, dan mereka
biasanya hanya berfoto saja. Memang Balai Penyelamatan tidaklah setenar dengan
musium-musium lain di Indonesia, sehingga peristiwa tadi tidaklah mengherankan
bagi kita. Mungkin yang dibutuhkan untuk saat ini adalah pempublikasian
mengenai Balai Penyelamatan supaya lebih dikenal masyarakat ksususnya peserta
didik dari berbagai jenjang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar