Selasa, 08 Juli 2014

UNGKAPAN BAHASA JAWA



MAKNA UNGKAPAN-UNGKAPAN BAHASA JAWA UNTUK PENERAPAN KEHIDUPAN MASA KINI
Agus Budi Prasetyo*
Universitas Negeri Malang
Abstrak
Bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur kebudayaan menurut antropolog Indonesia Koentjoroningrat. Bahasa tersebut adalah unsur terpenting dalam kelancaran berkomunikasi antar  manusia, tidak terkecuali Bahasa Daerah. Bahasa Daerah yang cukup terkenal di Nusantara ini adalah Bahasa Jawa karena sebagian besar penduduk Nusantara ada di Pulau Jawa. Didalam Bahasa Jawa terdapat pula sebuah ungkapan-ungkapan yang bermakna untuk kehidupan. Ungkapan itu akan berguna jika terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, namun dimasa sekarang ini apakah eksistensi Ungkapan Jawa masih dimiliki generasi masa kini?. Tanda tanya besar untuk menjawab permasalahan ini, untuk itu penulis akan mengkaji bagaimana penerapan makna ungkapan Jawa pada kehidupan masa kini. Ungkapan Jawa merupakan bekal penting bagi kita khususnya generasi muda guna mengarungi kehidupan masa kini yang semakin kompleks permasalahannya.
Kata Kunci: Ungkapan Jawa, Makna, Penerapan.
Pendahuluan
            Kearifan lokal suatu daerah sangatlah bervariasi, tidak terkecuali kearifan lokal dari Masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa komunikasi antar sesama berperan penting guna menjalani aktivitas sehari-hari. Dimanapun mereka bertemu yang dilakukan adalah saling menyapa atau setidaknya tersenyum. Hal tersebut yang membuat keunikan tersendiri dari masyarakat Jawa. Unsur utama yang membangun komunikasi dan interaksi tersebut adalah bahasa, dan didalam bahasa terdapat ungkapan-ungkapan halus untuk diterapkan dalam masyarakat. Ungkapan itu memberikan pelajaran hidup mulia bagi siapapun yang menerapkannya.
           Makna-makna dalam ungkapan Jawa sering kita ketahui dan kita pelajari. Namun untuk penerapannya sendiri masih sulit dilakukan dalam menjalani kehidupan. Dengan mempelajari sedikit demi sedikit makna ungkapan jawa itu maka generasi muda bisa mengetahuinya untuk dijadikan wawasan baru yang kemudian bisa diterapkan di kedepannya. Dari berbagai ungkapan Jawa yang ada, terdapat beberapa yang akan dijadikan pembahasan dalam tulisan ini. Ungkapan tersebut adalah Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake, Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe, Aja Adigung, Adigung, Adiguna, dan Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti.


*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Sosial, UM angkatan 2012.


Tinjauan Pustaka
            Ungkapan jawa sebagai kearifan lokal masyarakat patut kita pelajari dan dilestarikan kepada generasi muda. Dengan mengetahui ungkapan dan bisa mengaplikasikannya maka generasi muda tidak akan mudah terbawa alur jaman yang semakin berkembang ini. Dan untuk mengetahui berbagai ungkapan yang telah disebut di atas maka dibutuhkan referensi yang relevan dengan perkembangan jaman saat ini. Untuk itu penulis mengambil referensi dari salah satu buku dan sebuah artikel dari internet terkait ungkapan-ungkapan tersebut.
            Setelah mengetahui ungkapan maka dibutuhkan pemahaman makna yang disampaikan. Setelah mengetahui maknanya maka berusaha untuk diterapkan dalam tingkah laku kehidupan. Setelah diterapkan maka sampaikanlah kepada orang lain yang membutuhkan. Setelah bisa disebarluaskan maka bagikan lagi kepada generasi muda yang sedang mencari jati diri atau kedewasaan. Alur tersebut yang akan menjadi pedoman hidup dari manusia, pedoman ini yang diupayakan bisa mengimbangi perkembangan jaman.

Ungkapan-Ungkapan Bahasa Jawa untuk Kehidupan Masa Kini
  1. Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake
Ungkapan Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake jika diartikan menjadi seseorang yang berjuang untuk menyelesaikan masalah tanpa perlu membawa massa, melainkan cukup seorang diri melalui jalan dialog bersahabat (D.S. Widodo, 2005:9). Ungkapan itu juga bisa menggambarkan seorang pemimpin yang hidup dan bekerja semata-mata untuk kepentingan masyarakat luas. Jadi jika manusia telah mencapai puncak kehidupannya sehingga menjadi pimpinan maka dalam melaksanakan pekerjaannya tidak untuk memenuhi kepentingan sendiri melainkan kepentingan orang banyak. Tidak boleh juga merendahkan musuh atau saingannya apabila ia telah menang dalam suatu persaingan.
            Ungkapan tersebut cukup bermakna bagi banyak orang dalam menjalankan kehidupannya karena hidup dengan seperti itu akan terasa nyaman tanpa ada musuh. Untuk penerapan dalam kehidupan saat ini bisa dicontohkan oleh seorang guru, ulama, dosen dan sebagainya yang hanya menggunakan ilmunya, pengalamannya dan jaringannya tanpa harus mempunyai materi/harta yang melimpah. Mereka semua bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat luas tanpa memikirkan imbalan materi yang banyak. 

  1. Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe
Makna dari ungkapan di atas adalah bebas dari keinginan tersembunyi ketika bekerja, tetapi bersemangat dan bersungguh-sungguh ketika melakukan pekerjaan ((D.S. Widodo, 2005:12). Ungkapan inilah yang akan menjadikan Nusantara menjadi sejahtera jika kepentingan masyarakat luas berada diatas kepentingan individual. Ungkapan ini memiliki penerapan yang hampir sama dengan Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake. Mungkin perbedaannya terletak pada banyaknya yang melakukan kegiatan mulia itu. Untuk ungkapan Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe bisa dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok.
Contoh penerapan ungkapan tersebut yang bisa dijadikan referensi kita untuk menjalankan kehidupan adalah ketika Pejuang Nusantara mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia dengan niat tulusnya. Mereka tidak memikirkan imbalan besar apabila bisa menang melawan penjajah. Perjuangan yang dilakukannya semata-mata hanya untuk menjadikan masyarakat terlepas dari penjajah dan bisa merdeka. Peristiwa tersebut memang sudah lama, tetapi semangat 45 dari mereka patut dicontoh oleh kalangan saat ini.

  1. Aja Adigung, Adigung, Adiguna
            Makna dari ungkapan Jawa ini adalah melarang manusia untuk bersikap sombong dengan kemampuannya. Kata adigang adalah sifat kijang yang mengandalkan kecepatan larinya, adigung adalah sifat gajah yang mengandalkan kekuatannya, dan adiguna adalah sifat ular yang mengandalkan bisanya (D.S. Widodo. 2005:24). Tetapi jika ketiganya bertarung dan saling mengadu keunggulan, kekuatan, dan kemampuannya maka yang terjadi adalah mereka semua mati dengan sia-sia. Adigang juga diartikan kekuasaan, untuk adigung diartikan sebagai kebesaran, dan adiguna yang berarti kesaktian. Jadi sebagai pemimpin maupun orang biasa tidak boleh untuk merasa paling berkuasa, paling jaya, dan paling sakti.
            Penerapan dalam kehidupan saat ini berupa pembentukkan karakter manusia yang tidak pernah angkuh dengan kemampuannya. Sebagai manusia biasa maka kesombongan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan Yang Kuasa. Ada juga yang mengatakan di atas langit masih ada langit yang artinya diatas kelebihan seseorang masih ada yang melebihi lagi. Untuk itu jika manusia mempunyai kemampuan maka maksimalkan kemampuan itu untuk hal yang positif saja. Jika mempunyai kemampuan dalam bidang keilmuwan maka kembangkanlah ilmu tersebut sehingga orang laing bisa mendapatkan manfaatnya. Jangan merasa paling pintar dan paling hebat karena semua itu hanyalah anugrah sesaat dari Yang Kuasa.

  1. Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
Ungkapan ini sering disebutkan pada berbagai organisasi khususnya dalam bidang olah kanuragan. Makna arti ungkapan tersebut adalah keberanian, kekuatan, kejayaan-kekuasaan dapat ditundukkan oleh budi luhur yang bersumber pada kesucian jiwa (D.S. Widodo. 2005:44). Keduniawian sebagaimana yang ada dalam ungkapan sebelumnya adigang, adigung, adiguna dan ungkapan sura dira jayaningrat hanyalah bersifat sementara dan tidak bisa kekal abadi. Untuk itu dibutuhkan penyeimbang yaitu ilmu Agama atau ilmu Ketuhanan seperti ilmu manunggaling kawulo lan gusti (bersatunya jagat kecil dan besar) dalam keyakinan kejawen disadur dari artikel karya Sartini, Ni Wayan. 2009.
Penerapan dalam ungkapan yang begitu penting ini bisa dilakukan untuk mengimbangi kemajuan jaman saat ini. Dengan canggihnya teknologi, berkembang pesatnya informasi, dan di era globalisasi ini haruslah kita memiliki sikap sadar diri, berpikir proporsional, dan bertindak tanduk terukur (D.S. Widodo. 2005:25). Dengan sikap tersebut maka perkembangan tidak akan terlalu membebani kita malah-malah yang akan mensukseskannya.

Penutup
            Berawal dari menerapkan sikap toleransi yang tinggi, diteruskan dengan sikap tanpa pamrih dalam setiap kegiatan, dilanjutkan dengan sikap tidak sombong atas segala kemampuan yang dimiliki, dan terakhir diseimbangkan antara kemampuan duniawi dengan ilmu ketuhanan, maka manusia akan mencapai hidup  yang baik. Baik dalam arti tentram dalam menjalani hidup dan tidak ada musuh yang menghalangi persaingan. Itulah yang akan terjadi apabila makna dari ungkapan jawa yang menjadi kearifan lokal masyarakat mampu diterapkan dengan semaksimal mungkin. Dan bagaimanapun perkembangan jaman yang terjadi maka tidak akan menggoyahkan pikiran, sikap, sifat, dan tindakan manusia yang baik.
            Tidak ada yang sempurna kecuali Yang Maha Kuasa, manusia hanya bisa berusaha. Semoga sedikit rangkaian tulisan ini mampu menambah wawasan kita dan memberikan manfaat yang baik untuk kedepannya. Salam hormat kepada para pujangga Nusantara khususnya Jawa yang telah menemukan ungkapan-ungkapan penuh makna. Engkau adalah sebagai pemula, kami sekarang adalah para penerapnya, dan generasi ke depan yang akan melanjutkannya.

Daftar Pustaka
Sartini, Ni Wayan. 2009. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, Dan Paribasa). Jurnal online (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17541/1/log-apr2009-5%20(4).pdf) diakses 14 April 2014.
D.S. Widodo. 2005. Laku Hidup Sejati. Jakarta: Vision.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar