MAKNA UNGKAPAN-UNGKAPAN
BAHASA JAWA UNTUK PENERAPAN KEHIDUPAN MASA KINI
Agus Budi
Prasetyo*
Universitas
Negeri Malang
Abstrak
Bahasa merupakan salah satu dari tujuh unsur
kebudayaan menurut antropolog Indonesia Koentjoroningrat. Bahasa tersebut
adalah unsur terpenting dalam kelancaran berkomunikasi antar manusia, tidak terkecuali Bahasa Daerah. Bahasa
Daerah yang cukup terkenal di Nusantara ini adalah Bahasa Jawa karena sebagian
besar penduduk Nusantara ada di Pulau Jawa. Didalam Bahasa Jawa terdapat pula sebuah
ungkapan-ungkapan yang bermakna untuk kehidupan. Ungkapan itu akan berguna jika
terus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, namun dimasa sekarang ini apakah
eksistensi Ungkapan Jawa masih dimiliki generasi masa kini?. Tanda tanya besar
untuk menjawab permasalahan ini, untuk itu penulis akan mengkaji bagaimana
penerapan makna ungkapan Jawa pada kehidupan masa kini. Ungkapan Jawa merupakan
bekal penting bagi kita khususnya generasi muda guna mengarungi kehidupan masa
kini yang semakin kompleks permasalahannya.
Kata Kunci: Ungkapan Jawa, Makna,
Penerapan.
Pendahuluan
Kearifan
lokal suatu daerah sangatlah bervariasi, tidak terkecuali kearifan lokal dari
Masyarakat Jawa. Dalam masyarakat Jawa komunikasi antar sesama berperan penting
guna menjalani aktivitas sehari-hari. Dimanapun mereka bertemu yang dilakukan
adalah saling menyapa atau setidaknya tersenyum. Hal tersebut yang membuat
keunikan tersendiri dari masyarakat Jawa. Unsur utama yang membangun komunikasi
dan interaksi tersebut adalah bahasa, dan didalam bahasa terdapat
ungkapan-ungkapan halus untuk diterapkan dalam masyarakat. Ungkapan itu
memberikan pelajaran hidup mulia bagi siapapun yang menerapkannya.
Makna-makna dalam ungkapan Jawa
sering kita ketahui dan kita pelajari. Namun untuk penerapannya sendiri masih
sulit dilakukan dalam menjalani kehidupan. Dengan mempelajari sedikit demi
sedikit makna ungkapan jawa itu maka generasi muda bisa mengetahuinya untuk dijadikan
wawasan baru yang kemudian bisa diterapkan di kedepannya. Dari berbagai
ungkapan Jawa yang ada, terdapat beberapa yang akan dijadikan pembahasan dalam
tulisan ini. Ungkapan tersebut adalah Nglurug
Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake, Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe, Aja Adigung,
Adigung, Adiguna, dan Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan IPS, Fakultas
Ilmu Sosial, UM angkatan 2012.
Tinjauan
Pustaka
Ungkapan
jawa sebagai kearifan lokal masyarakat patut kita pelajari dan dilestarikan
kepada generasi muda. Dengan mengetahui ungkapan dan bisa mengaplikasikannya
maka generasi muda tidak akan mudah terbawa alur jaman yang semakin berkembang
ini. Dan untuk mengetahui berbagai ungkapan yang telah disebut di atas maka dibutuhkan
referensi yang relevan dengan perkembangan jaman saat ini. Untuk itu penulis
mengambil referensi dari salah satu buku dan sebuah artikel dari internet
terkait ungkapan-ungkapan tersebut.
Setelah
mengetahui ungkapan maka dibutuhkan pemahaman makna yang disampaikan. Setelah
mengetahui maknanya maka berusaha untuk diterapkan dalam tingkah laku
kehidupan. Setelah diterapkan maka sampaikanlah kepada orang lain yang
membutuhkan. Setelah bisa disebarluaskan maka bagikan lagi kepada generasi muda
yang sedang mencari jati diri atau kedewasaan. Alur tersebut yang akan menjadi
pedoman hidup dari manusia, pedoman ini yang diupayakan bisa mengimbangi perkembangan
jaman.
Ungkapan-Ungkapan Bahasa Jawa untuk
Kehidupan Masa Kini
- Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake
Ungkapan Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa Angsorake
jika diartikan menjadi seseorang yang berjuang untuk menyelesaikan masalah
tanpa perlu membawa massa, melainkan cukup seorang diri melalui jalan dialog
bersahabat (D.S. Widodo, 2005:9). Ungkapan itu juga bisa menggambarkan seorang
pemimpin yang hidup dan bekerja semata-mata untuk kepentingan masyarakat luas.
Jadi jika manusia telah mencapai puncak kehidupannya sehingga menjadi pimpinan
maka dalam melaksanakan pekerjaannya tidak untuk memenuhi kepentingan sendiri
melainkan kepentingan orang banyak. Tidak boleh juga merendahkan musuh atau
saingannya apabila ia telah menang dalam suatu persaingan.
Ungkapan tersebut cukup bermakna
bagi banyak orang dalam menjalankan kehidupannya karena hidup dengan seperti
itu akan terasa nyaman tanpa ada musuh. Untuk penerapan dalam kehidupan saat
ini bisa dicontohkan oleh seorang guru, ulama, dosen dan sebagainya yang hanya
menggunakan ilmunya, pengalamannya dan jaringannya tanpa harus mempunyai
materi/harta yang melimpah. Mereka semua bekerja untuk mengabdi kepada
masyarakat luas tanpa memikirkan imbalan materi yang banyak.
- Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe
Makna dari ungkapan di atas adalah bebas dari
keinginan tersembunyi ketika bekerja, tetapi bersemangat dan bersungguh-sungguh
ketika melakukan pekerjaan ((D.S. Widodo, 2005:12). Ungkapan inilah yang akan
menjadikan Nusantara menjadi sejahtera jika kepentingan masyarakat luas berada
diatas kepentingan individual. Ungkapan ini memiliki penerapan yang hampir sama
dengan Nglurug Tanpa Bala, Menang Tanpa
Angsorake. Mungkin perbedaannya terletak pada banyaknya yang melakukan
kegiatan mulia itu. Untuk ungkapan Sepi
Ing Pamrih Rame Ing Gawe bisa dilakukan secara bersama-sama atau
berkelompok.
Contoh penerapan ungkapan tersebut yang bisa
dijadikan referensi kita untuk menjalankan kehidupan adalah ketika Pejuang Nusantara
mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia dengan niat tulusnya. Mereka tidak
memikirkan imbalan besar apabila bisa menang melawan penjajah. Perjuangan yang
dilakukannya semata-mata hanya untuk menjadikan masyarakat terlepas dari penjajah
dan bisa merdeka. Peristiwa tersebut memang sudah lama, tetapi semangat 45 dari
mereka patut dicontoh oleh kalangan saat ini.
- Aja Adigung, Adigung, Adiguna
Makna
dari ungkapan Jawa ini adalah melarang manusia untuk bersikap sombong dengan
kemampuannya. Kata adigang adalah sifat kijang yang mengandalkan kecepatan
larinya, adigung adalah sifat gajah yang mengandalkan kekuatannya, dan adiguna
adalah sifat ular yang mengandalkan bisanya (D.S. Widodo. 2005:24). Tetapi jika
ketiganya bertarung dan saling mengadu keunggulan, kekuatan, dan kemampuannya
maka yang terjadi adalah mereka semua mati dengan sia-sia. Adigang juga
diartikan kekuasaan, untuk adigung diartikan sebagai kebesaran, dan adiguna
yang berarti kesaktian. Jadi sebagai pemimpin maupun orang biasa tidak boleh
untuk merasa paling berkuasa, paling jaya, dan paling sakti.
Penerapan
dalam kehidupan saat ini berupa pembentukkan karakter manusia yang tidak pernah
angkuh dengan kemampuannya. Sebagai manusia biasa maka kesombongan itu tidak
ada apa-apanya dibandingkan dengan kekuatan Yang Kuasa. Ada juga yang
mengatakan di atas langit masih ada langit yang artinya diatas kelebihan
seseorang masih ada yang melebihi lagi. Untuk itu jika manusia mempunyai
kemampuan maka maksimalkan kemampuan itu untuk hal yang positif saja. Jika
mempunyai kemampuan dalam bidang keilmuwan maka kembangkanlah ilmu tersebut
sehingga orang laing bisa mendapatkan manfaatnya. Jangan merasa paling pintar
dan paling hebat karena semua itu hanyalah anugrah sesaat dari Yang Kuasa.
- Sura Dira Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
Ungkapan ini sering disebutkan pada berbagai
organisasi khususnya dalam bidang olah kanuragan. Makna arti ungkapan tersebut
adalah keberanian, kekuatan, kejayaan-kekuasaan dapat ditundukkan oleh budi
luhur yang bersumber pada kesucian jiwa (D.S. Widodo. 2005:44). Keduniawian
sebagaimana yang ada dalam ungkapan sebelumnya adigang, adigung, adiguna dan ungkapan sura dira jayaningrat hanyalah bersifat sementara dan tidak bisa
kekal abadi. Untuk itu dibutuhkan penyeimbang yaitu ilmu Agama atau ilmu Ketuhanan
seperti ilmu manunggaling kawulo lan
gusti (bersatunya jagat kecil dan besar) dalam keyakinan kejawen disadur
dari artikel karya Sartini, Ni Wayan. 2009.
Penerapan dalam ungkapan yang begitu penting ini
bisa dilakukan untuk mengimbangi kemajuan jaman saat ini. Dengan canggihnya
teknologi, berkembang pesatnya informasi, dan di era globalisasi ini haruslah
kita memiliki sikap sadar diri, berpikir proporsional, dan bertindak tanduk
terukur (D.S. Widodo. 2005:25). Dengan sikap tersebut maka perkembangan tidak
akan terlalu membebani kita malah-malah yang akan mensukseskannya.
Penutup
Berawal dari menerapkan sikap
toleransi yang tinggi, diteruskan dengan sikap tanpa pamrih dalam setiap
kegiatan, dilanjutkan dengan sikap tidak sombong atas segala kemampuan yang
dimiliki, dan terakhir diseimbangkan antara kemampuan duniawi dengan ilmu
ketuhanan, maka manusia akan mencapai hidup
yang baik. Baik dalam arti tentram dalam menjalani hidup dan tidak ada
musuh yang menghalangi persaingan. Itulah yang akan terjadi apabila makna dari
ungkapan jawa yang menjadi kearifan lokal masyarakat mampu diterapkan dengan
semaksimal mungkin. Dan bagaimanapun perkembangan jaman yang terjadi maka tidak
akan menggoyahkan pikiran, sikap, sifat, dan tindakan manusia yang baik.
Tidak ada yang sempurna kecuali Yang
Maha Kuasa, manusia hanya bisa berusaha. Semoga sedikit rangkaian tulisan ini
mampu menambah wawasan kita dan memberikan manfaat yang baik untuk kedepannya.
Salam hormat kepada para pujangga Nusantara khususnya Jawa yang telah menemukan
ungkapan-ungkapan penuh makna. Engkau adalah sebagai pemula, kami sekarang
adalah para penerapnya, dan generasi ke depan yang akan melanjutkannya.
Daftar Pustaka
Sartini, Ni Wayan. 2009. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa
Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, Dan Paribasa). Jurnal online (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17541/1/log-apr2009-5%20(4).pdf)
diakses 14 April 2014.
D.S. Widodo. 2005. Laku Hidup Sejati. Jakarta: Vision.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar