1. Perbedaan Multikulturalisme
dan Pluralisme
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari
kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham) jadi artinya
adalah paham tentang banyak budaya. Sedangkan secara hakiki, dalam kata multikulturalisme
mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya masing-masing yang unik. Untuk pluralisme (Plural Society) secara etimologis memiliki makna yang sama dengan
multikuturalisme, yaitu sama-sama paham tentang banyaknya budaya. Namun jika
dilihat arti secara hakiki maka terdapat suatu perbedaan.
Multikulturalisme bisa diibaratkan seperti warna
biru dan kuning yang melebur menjadi warna hijau. Artinya adalah dalam suatu
masyarakat terdapat beberapa perbedaan baik ras, suku, agama dan lain-lain yang
hidup bersama namun tidak terlihat perbedaan tersebut. Semua masyarakat saling
pengertian dan menghormati perbedaan tersebut tanpa adanya masalah. Jika ada
kaum minoritas dalam masyarakat kemudian mereka menjadi pemimpin, maka semua
orang akan menerima dan menjalankan segala amanat yang dilakukan selama tidak
melanggar peraturan. Hak dan kewajiban semua masyarakat selalu di jaga dengan
baik, tidak ada yang ingin dominan menguasai.
Sementara pluralisme sendiri ibarat air yang
dicampur dengan minyak tanah, keduanya akan menyatu namun masih terlihat
perbedaan diantaranya. Jadi arti pluralisme adalah suatu paham dalam masyarakat
yang menerima perbedaan dan mereka saling menghormati tetapi tidak mau ikut
campur terlalu dalam. Contohnya adalah ketika mayoritas masyarakat jawa
terdapat pendatang yang menetap yaitu masyarakat minoritas tionghoa. Dalam hal
ini masyarakat jawa akan menerimanya dengan baik namun mereka kurang perhatian
terhadap yang minoritas. Jadi walaupun saling menerima tetapi masyarakat yang
mayoritas tetap teguh dalam pendirian budayanya sendiri, mereka tidak mau
mengikuti budaya lain untuk diterapkan.
Hidayah, Nur. Masyarakat
Multikultural. Online (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/MASYARAKAT%20%20MULTIKULTURAL.pdf).
Diakses pada 11-12-2014
2. A. Nilai-nilai dalam
multikulturalisme
- Nilai
Inklusif (Terbuka)
Nilai
ini memandang bahwa kebenaran yang dianut oleh suatu kelompok, dianut juga oleh
kelompok lain. Nilai ini mengakui terhadap multikulturalisme dalam suatu
komunitas atau kelompok sosial.
- Nilai
Kemanusiaan (Humanis)
Kemanusiaan
manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan heterogenitas, dan keragaman
manusia itu sendiri. Keragaman itu bisa berupa ideologi, agama, suku bangsa,
dan sebagainya.
- Nilai
Toleransi
Dalam
hidup bermasyarakat, toleransi dipahami sebagai perwujudan mengakui dan
menghormati hak-hak asasi manusia. Kebebasan berkeyakinan dalam arti tidak
adanya paksaan dalam hal agama, kebebasan berpikir atau berpendapat, dan lain
sebagainya.
- Berbaik
Sangka
Memandang
seseorang atau kelompok lain dengan melihat pada sisi positifnya dan dengan
paradigma itu maka tidak akan ada antar satu kelompok dengan kelompok lain akan
saling menyalahkan.
- Cinta
Tanah Air
Cinta
tanah air dalam hal ini tidak bermakna sempit, bukan chauvanisme yang
membangga-banggakan negerinya sendiri dan menghina orang lain, bukan pula
memusuhi negara lain. Akan tetapi rasa kebangsaan yang lapang dan
berperikemanusiaan yang mendorong untuk hidup rukun dan damai dengan
bangsa-bangsa lain.
Dari beberapa nilai yang terkandung
dalam multikulturalisme bisa disimpulkan bahwa masyarakat pada dasarnya harus
bersikap terbuka dengan keragaman yang ada. Setelah timbul rasa terbuka akan
muncul rasa kemanusiaan, toleransi, dan berbaik sangka karena seiring
berjalannya waktu, seluruh masyarakat akan terus berinteraksi dengan siapapun
termasuk masyarakat minoritas. Dengan
adanya sikap tersebut maka cinta tanah air akan tumbuh dengan sendirinya, tidak
akan ada dominasi dari satu kalangan saja, semua mempunyai hak dan kewajiban
yang sama.
B. Sikap negatif yang perlu dihindari dalam
menghadapi keberagaman budaya
- Etnosentrisme
Etnosentrisme
bisa diartikan sebagai fanatik berlebihan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang menganggap kelompoknya sendiri paling baik dan menganggap
kelompok lain tidak baik. Sikap ini akan membuat diskriminasi oleh kelompok
yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan besar, sehingga akan ada pengucilan
kelompok minoritas.
- Berprasangka
buruk (negatif thingking)
Jika
ada kelompok masyarakat pendatang atau masyarakat baru maka hendaknya tidak
perlu mempunyai rasa neative thingkink. Sikap ini selalu menganggap kurang baik
kelompok lain sehingga mempengaruhi masyarakat untuk tidak memiliki toleransi.
- Egois
dan acuh
Egois
dan acuh bisa diartikan menutupi diri untuk menerima perbedaan dan merasa ingin
menangnya sendiri. Sikap ini akan menimbulkan masalah jika berada dalam
masyarakat yang mempunyai keragaman budaya.
- Adu domba
Mengadu
domba atau saling menyalahkan antar kelompok akan menjadikan permaasalahan
serius dalam masyarakat. Sikap ini akan membuat permusuhan antar kelompok
masyarakat yang kemungkinan pada awalnya tidak ada masalah besar.
UNY. Nilai-Nilai Multikultural.
Online (http://eprints.uny.ac.id/9747/2/BAB2-%2008108241086.pdf). diakses pada
11-12-2014
3 A. Tantangan merawat
kemajemukan budaya
Menurut Menteri Agama yang dilansir dari media
elektronik, terdapat lima tamtangan dalam merawat kemajemukan budaya khususnya
dalam aspek Agama. Yang pertama yaitu di Indonesia perlu adanya perhatian
terhadap penganut di luar enam agama yang diakui. Kemudian yang kedua adalah
negara perlu menyikapi munculnya gerakan faham atau keagamaan baru yang semakin
lama semakin menunjukkan grafik peningkatan. Sebenarnya gerakan ini tidak akan
membuat resah masyarakat apabila kematangan agama mereka kuat. Selanjutnya
yaitu pendirian rumah ibadah, pendirian ini sering menjadikan konflik intern
dan bisa menjadi konflik antar agama. Tantangan berikutnya yaitu kekerasan
antarumat beragama khusunya terhadap kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dan
minoritas hanyalah terletak pada perbedaan wilayah saja, jadi tidak perlu
dibesar-besarkan. Dan yang terakhir
terkait penafsiran agama yang sempit baik dari segi literatur dan konservatif. Hal
ini dapat mengancam kelompok keagamaan yang memiliki tafsir berbeda.
Dari penjelasan tersebut bisa diketahui bahwa
tantangan terbesar dalam kemajemukan adalah masyarakat itu sendiri yang kurang
dewasa menyikapi perbedaan. Kurang kedewasaan ini bisa terjadi karena
pendidikan masyarakat yang relatif rendah dan kurang tegasnya penegak hukum pemerintah
dalam menyelesaikan masalah multikultur. Selain itu adanya sikap yang
membanggakan budaya sendiri serta meremehkan budaya lain akan merusak
kemajemukan yang ada. Masyarakat boleh saja membanggakan diri namun jangan
sampai berlebihan sehingga mendiskriminasi kelompok masyarakat lainnya. Sudah
banyak masalah yang terjadi, namun hal tersebut tidak memberi pelajaran bagi
masyarakat untuk memperbaiki dirinya. Jadi dibutuhkan sikap dewasa dan saling
terbuka dalam menghadapi perbedaan.
B. Upaya merawat kekayaan budaya
- Pendidikan
formal, informal, non formal
Salah
satu upaya untuk merawat sesuatu adalah dengan terus menyiraminya atau memupuknya.
Menyirami dan memupuk yang dimaksud adalah memberikan informasi, wawasan,
pengetahuan, dan memberikan perhatian khusus kepada orang yang belum
mengetahui. Cara yang bisa dilakukan dalam hal tersebut adalah melalui
pendidikan di sekolah dan kampus (formal), keluarga (informal), dan masyarakat
(non formal). Pada dasarnya pendidikan merupakan sarana untuk menstransfer
budaya yang ada kepada murid-muridnya. Sehingga pendidikan sangat penting untuk
mengenalkan keragaman budaya dan merawat keragaman tersebut dalam Nasionalisme
Persatuan dan Kesatuan Indonesia.
- Penerapan
4 Pilar Kebangsaan
Dalam
beberapa tahun terakhir kita sering mengenal 4 pilar kebangsaan. 4 pilar
tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Dalam
merawat keragaman budaya Indonesia maka penerapan 4 pilar dibutuhkan dalam
masyarakat. Hal ini supaya menjaga kerukunan masyarakat dan mengurangi konflik
beda golongan. Peran pemerintah dalam sosialisasi 4 pilar ini perlu
ditingkatkan lagi supaya semua kalangan masyarakat mampu memahami dan
menghormati keragaman budaya.
- Intropeksi
diri
Ketika
terdapat masalah beda golongan sering kali kita menyalahkan pemerintah maupun
pihak lain yang terlibat. Hal ini sah-sah saja karena kita diberikan hak untuk
berpendapat. Namun sebaiknya tidak perlu terlalu menyalahkan suatu lembaga atau
masyarakat, karena akan menambah keruh permasalahan. Yang ada malah akan timbul
masalah baru akibat saling menyalahkan tersebut, sebagaimana seperti teori
konflik yang dinyatakan oleh ahli. Konflik biasanya terjadi karena ada orang
ketiga yang memberikan informasi tidak baik atau memanas-manasi suasana saja.
Untuk itu dibutuhkan intropeksi kepada diri sendiri secara mendalam. Dengan
dimulai dari diri sendiri maka lama-kelamaan akan menyebar kepada keluarga,
teman, masyarakat dan generasi selanjutnya.
C. Analisis ketepatan dan
kekurangan strategi
Dari tiga upaya merawat keragaman
yang telah dijelaskan di atas terdapat ketepatan dan kekurangan. Untuk
ketepatannya yaitu ketiganya saling berkaitan satu dengan yang lain, kalangan
pendidikan memulainya dengan menerapkan 4 pilar kebangsaan dan setiap individu
diharapkan akan intropeksi diri suapaya menjadi lebih terbuka dengan keragaman.
Dimulai dari diri sendiri akan lebih mudah untuk diinformasikan kepada orang
lain. Selanjutnya yaitu semua pihak dari pemerintah dan masyarakat terlibat
langsung dalam merawat keragaman budaya. Tidak hanya pemerintah yang aktif
memberikan informasi tetapi masyarakat juga aktif untuk menyalurkan informasi
kepada yang lain. Dengan kerjasama yang dilakukan oleh semua pihak maka akan
mengurangi masalah beda golongan ynag terjadi di Indonesia. Berikutnya adalah
menjaga kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat. Jangan
sampai terjadi ketidakstabilan Politik di Pemerintahan yang akan mengurangi
perhatian kepada masyarakat.
Kekurangan yang utama dalam upaya
merawat keberagaman adalah ralisasi nyata dari konsep dan teori yang telah
dibuat. Memang teori didapatkan dari fakta dilapangan, tetapi ketika sudah
terjun langsung maka situasi dan kondisi akan berbeda. Itulah dinamika dalam
kehidupan, sehingga tidak mungkin bisa semua berjalan dengan lancar. Kekurangan
selanjutnya adalah perhatian semua kalangan tidak pada keragaman budaya, tetapi
kepada hal yang berkaitan dengan perekonomian. Manusia mempunyai kebutuhan yang
tidak terbatas sehingga banyak yang lebih memikirkan ekonomi dibanding dengan
yang lain. Kenyataan ini memang terjadi dimana-mana mengingat kesejahteraan
belum bisa merata. Sebagaimana teori kebutuhan dari Maslow yang menyatakan
bahwa kebutuhan pertama dimulai dari mendapatkan kebutuhan dasar. Ketika
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan telah terpenuhi barulah manusia
akan memikirkan hal lainnya. Hal lainnya yang dimaksud itu adalah tingkatan kebutuhan
manusia yang meliputi kebutuhan keamanan dan kenyamanan, kebutuhan kehormatan,
kebutuhan pengakuan diri, dan kebutuhan pengaktualisasikan diri.
La’lang, Rakhmawaty.
2014. Ini Tantangan Multikultural
Indonesia Menurut Menteri Agama. Online (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/22/nffekh-ini-tantangan-multikultural-indonesia-menurut-menteri-agama)
diakses pada 11-12-2014.
Saehuna, Nana. 2010. Merawat Kemajemukan dalam Bingkai NKRI.
Online. (http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/08/merawat-kemajemukan-dalam-bingkai-nkri-324704.html)
diakses pada 11-12-2014.
4. Kajian 5w + 1h dalam fenomena
multikultur
1. What (apa):
Fenomena
selama 50 tahun masjid & gereja di Solo hidup mesra satu atap, serta dibuatnya simbol kedamaian berupa tugu lilin
di area tersebut.
2. When (kapan):
Pembangunan
gereja terjadi pada tahun 1939, dan pembangunan masjid terletak di kiri gereja
pada tahun 1947. Untuk berita dari media online mengenai tempat ibadah ini
ditulis pada Sabtu, 8 September 2012 18:02.
3. Where (dimana):
Letak dari
kedua temat ibadah tersebut adalah di Jalan Gatot Soebroto No 222 Solo, Jawa
Tengah. Untuk letaknya sangat berdekatan sehingga dianggap berdiri satu atap.
Contoh bentuk toleransinya adalah tempat imam masjid untuk salat berjamaah secara
langsung berbatasan dengan ruang pertemuan gereja yang biasa digunakan untuk
aktivitas kegiatan misa jamaahnya. Sehingga antar jamaah selalu menghormati dan
tidak terjadi konflik walaupun pada beberapa tahun terakhir ada teror di Kota
Solo.
4. Who (siapa):
Fenomena
multikultur ini terjadi antara jamaah dari Masjid Al Hikmah dan jamaah dari Gereja
Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh tokoh
agama kristen setempat sebagai berikut:
"Berhimpitan
dan bersebelahan tanpa ada jarak sedikitpun baik secara lahiriah bangunan
maupun sikap dan perasaan masing-masing umatnya. Bahkan untuk mengabadikan
bentuk toleransi itu, masing-masing perwakilan umat Islam maupun Kristen
membangun sebuah prasasti Tugu Lilin bercat putih sebagai simbol kebersamaan
dan toleransi..." kemudian Untuk penulis dalam berita tersebut adalah Parwito.
5. Why (mengapa):
Toleransi
antar umat ini terjadi karena kesemuanya saling menghormati leluhur mereka yang
membangun tempat ibadah secara berdekatan. Untuk mengabadikan toleransi
tersebut dibuatlah tugu lilin sebagai lambang kedamaian. Prasasti lilin
tersebut memiliki tinggi 100 centimeter dan sampai saat ini masih kokoh tegak
berdiri di sekitar tempat wudlu perempuan yang terletak di sebelah selatan
masjid. Tugu bercat putih tersebut menjadi sumpah janji di antara kedua pemeluk
keyakinan yang berbeda untuk bisa hidup rukun dan damai menghindari terjadinya
permusuhan serta bentuk memelihara kedamaian selamanya.
6. How (bagaimana):
Awal pembangunan tempat ibadah tersebut sudah
berlangsung cukup lama, seperti yang disampaikan oleh Pendeta setempat yaitu
Pendeta Widi Atmo Herdjanto. Beliau menjelaskan bahwa gereja itu dibangun lebih
dulu pada tahun 1939. Pada Saat itu, gereja didirikan di atas tanah milik
seorang ulama sekitar bernama H.Zaini yang telah dibeli oleh sejumlah umat
Kristen asal Danukusuman, Solo, Jateng. Saat bangunan gereja tersebut dibangun,
para pendiri juga sudah mengetahui ihwal rencana pembangunan mushola, yang
direalisasikan tahun 1947, tepat di sisi utara gereja. Sejak saat itu kerukunan
kedua umat beragama ini terjalin, layaknya kedua bangunan tempat ibadah yang
mempunyai satu alamat bersama.
Sikap toleransi yang terjalin di
Solo ini bahkan menyebar ke seluruh pelosok dunia sehingga banyak orang asing
yang berkunjung. Selain ingin melihat dari dekat, mereka juga ingin mengetahui
kunci kerukunan yang terjadi antara umat beragama tersebut. Bahkan, dua bulan
lalu sebelum terjadinya aksi teror beberapa kali di Solo, mendapatkan kunjungan
spesial dari kalangan tokoh agama Eropa. Bentuk saling toleransi yang telah ada
dalam masyarakat setempat sempat goyah ketika ada teror konflik di Solo.
Kemungkinan besar teror ini dilakukan oleh salah satu organisasi keagamaan
garis keras yang ingin membuat kedamaian dengan memerangi kekejian, namun
tindakan tersebut malah membuat keresahan dikalangan masyarakat. Sebaiknya
tindakan tersebut tidak perlu dilakukan karena semua umat dimata tuhan itu
sama, tinggal bagaimana manusia itu mempunyai iman yang kuat atau tidak dan
berakhlak baik atau tidak.
Bentuk toleransi antar umat juga
diketahui dari penjelasan tokoh agama Islam sebagaimana yang juga dilansir dari
narasumber berita online yaitu Bapak Nasir (salah satu pengurus Masjid Al
Hikmah). Beliau menegaskan bahwa baik dari pihak gereja maupun masjid sangat
menjaga betul arti pentingnya kedamaian, persaudaraan dan persatuan. Sikap
toleransi ini secara turun-temurun dari generasi ke generasi dijaga betul
selama perjalanan 50 tahun sampai saat ini. Beliau juga meneruskan
penjelasannya "...Kita menjaga betul apa yang namanya prinsip dan sikap
toleransi. Seperti dalam ajaran agama Islam, 'Lakum Diinukum Waliyadin"
yakni agama kita adalah agama masing-masing, namun dengan saling menghormati
ritual ibadah kita adalah urusan pribadi masing-masing...”. dari pejelasan
tersebut bisa diketahui bahwa agama mengajarkan manusia untuk saling toleransi
antar umat karena perbedaan itu sudah kehendak Tuhan YME. Jika kita menolak
perbedaan sama halnya menolak ciptaan Sang Kuasa.
Sikap toleransi dan bentuk adanya tempat ibadah yang
berdekatan bisa membuktikan bahwa upaya teror yang mencoba untuk memecah belah,
kalah dengan kokoh berdirinya kedua bangunan yang bersandingan. Begitu
indahnya, kedua bangunan yang berbeda aliran dan agama ini secara otomatis
mencerminkan penolakan terhadap adanya upaya perpecahan yang dipicu dengan cara
teror dan memecah belah dengan menghembuskan permasalahan isu Suku Agama Ras
dan Antar Golongan (SARA). Fenomena seperti yang telah dijelaskan di atas perlu
diterapkan di Indonesia dan khususnya di daerah yang rawan masalah agama. Dalam
naungan Pancasila maka kemajemukan atau masyarakat multikultural haruslah
dijaga demi terciptanya persatuan dan kesatuan. Sila pertama yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa membuktikan bahwa dari dahulu tidak menyebutkan siapa tuhan di
masing-masing agama. Awalnya memang condong ke agama Islam namun seiring
berjalannya waktu maka sila tersebut diubah supaya ada sumber hukum kuat untuk
menjalin toleransi antar pemeluk agama.
Parwito. 2012 . 50 Tahun Masjid
& Gereja di Solo Hidup Mesra Satu Atap. Online (http://www.merdeka.com/peristiwa/50-tahun-masjid-amp-gereja-di-solo-hidup-mesra-satu-atap.html)
diakses pada 11-12-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar