Kamis, 18 Desember 2014

multikulturalisme


1. Perbedaan Multikulturalisme dan Pluralisme
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham) jadi artinya adalah paham tentang banyak budaya. Sedangkan secara hakiki, dalam kata multikulturalisme mengandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Untuk pluralisme (Plural Society) secara etimologis memiliki makna yang sama dengan multikuturalisme, yaitu sama-sama paham tentang banyaknya budaya. Namun jika dilihat arti secara hakiki maka terdapat suatu perbedaan.
Multikulturalisme bisa diibaratkan seperti warna biru dan kuning yang melebur menjadi warna hijau. Artinya adalah dalam suatu masyarakat terdapat beberapa perbedaan baik ras, suku, agama dan lain-lain yang hidup bersama namun tidak terlihat perbedaan tersebut. Semua masyarakat saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut tanpa adanya masalah. Jika ada kaum minoritas dalam masyarakat kemudian mereka menjadi pemimpin, maka semua orang akan menerima dan menjalankan segala amanat yang dilakukan selama tidak melanggar peraturan. Hak dan kewajiban semua masyarakat selalu di jaga dengan baik, tidak ada yang ingin dominan menguasai.
Sementara pluralisme sendiri ibarat air yang dicampur dengan minyak tanah, keduanya akan menyatu namun masih terlihat perbedaan diantaranya. Jadi arti pluralisme adalah suatu paham dalam masyarakat yang menerima perbedaan dan mereka saling menghormati tetapi tidak mau ikut campur terlalu dalam. Contohnya adalah ketika mayoritas masyarakat jawa terdapat pendatang yang menetap yaitu masyarakat minoritas tionghoa. Dalam hal ini masyarakat jawa akan menerimanya dengan baik namun mereka kurang perhatian terhadap yang minoritas. Jadi walaupun saling menerima tetapi masyarakat yang mayoritas tetap teguh dalam pendirian budayanya sendiri, mereka tidak mau mengikuti budaya lain untuk diterapkan.


Hidayah, Nur. Masyarakat Multikultural. Online (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/MASYARAKAT%20%20MULTIKULTURAL.pdf). Diakses pada 11-12-2014

2. A. Nilai-nilai dalam multikulturalisme
- Nilai Inklusif (Terbuka)
Nilai ini memandang bahwa kebenaran yang dianut oleh suatu kelompok, dianut juga oleh kelompok lain. Nilai ini mengakui terhadap multikulturalisme dalam suatu komunitas atau kelompok sosial.
- Nilai Kemanusiaan (Humanis)
Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan heterogenitas, dan keragaman manusia itu sendiri. Keragaman itu bisa berupa ideologi, agama, suku bangsa, dan sebagainya.
- Nilai Toleransi
Dalam hidup bermasyarakat, toleransi dipahami sebagai perwujudan mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia. Kebebasan berkeyakinan dalam arti tidak adanya paksaan dalam hal agama, kebebasan berpikir atau berpendapat, dan lain sebagainya.
- Berbaik Sangka
Memandang seseorang atau kelompok lain dengan melihat pada sisi positifnya dan dengan paradigma itu maka tidak akan ada antar satu kelompok dengan kelompok lain akan saling menyalahkan.
- Cinta Tanah Air
Cinta tanah air dalam hal ini tidak bermakna sempit, bukan chauvanisme yang membangga-banggakan negerinya sendiri dan menghina orang lain, bukan pula memusuhi negara lain. Akan tetapi rasa kebangsaan yang lapang dan berperikemanusiaan yang mendorong untuk hidup rukun dan damai dengan bangsa-bangsa lain.
            Dari beberapa nilai yang terkandung dalam multikulturalisme bisa disimpulkan bahwa masyarakat pada dasarnya harus bersikap terbuka dengan keragaman yang ada. Setelah timbul rasa terbuka akan muncul rasa kemanusiaan, toleransi, dan berbaik sangka karena seiring berjalannya waktu, seluruh masyarakat akan terus berinteraksi dengan siapapun termasuk  masyarakat minoritas. Dengan adanya sikap tersebut maka cinta tanah air akan tumbuh dengan sendirinya, tidak akan ada dominasi dari satu kalangan saja, semua mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

 B. Sikap negatif yang perlu dihindari dalam menghadapi keberagaman budaya
- Etnosentrisme
Etnosentrisme bisa diartikan sebagai fanatik berlebihan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menganggap kelompoknya sendiri paling baik dan menganggap kelompok lain tidak baik. Sikap ini akan membuat diskriminasi oleh kelompok yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan besar, sehingga akan ada pengucilan kelompok minoritas.
- Berprasangka buruk (negatif thingking)
Jika ada kelompok masyarakat pendatang atau masyarakat baru maka hendaknya tidak perlu mempunyai rasa neative thingkink. Sikap ini selalu menganggap kurang baik kelompok lain sehingga mempengaruhi masyarakat untuk tidak memiliki toleransi.
- Egois dan acuh
Egois dan acuh bisa diartikan menutupi diri untuk menerima perbedaan dan merasa ingin menangnya sendiri. Sikap ini akan menimbulkan masalah jika berada dalam masyarakat yang mempunyai keragaman budaya.
-  Adu domba
Mengadu domba atau saling menyalahkan antar kelompok akan menjadikan permaasalahan serius dalam masyarakat. Sikap ini akan membuat permusuhan antar kelompok masyarakat yang kemungkinan pada awalnya tidak ada masalah besar.

UNY. Nilai-Nilai Multikultural. Online (http://eprints.uny.ac.id/9747/2/BAB2-%2008108241086.pdf). diakses pada 11-12-2014










3 A. Tantangan merawat kemajemukan budaya
Menurut Menteri Agama yang dilansir dari media elektronik, terdapat lima tamtangan dalam merawat kemajemukan budaya khususnya dalam aspek Agama. Yang pertama yaitu di Indonesia perlu adanya perhatian terhadap penganut di luar enam agama yang diakui. Kemudian yang kedua adalah negara perlu menyikapi munculnya gerakan faham atau keagamaan baru yang semakin lama semakin menunjukkan grafik peningkatan. Sebenarnya gerakan ini tidak akan membuat resah masyarakat apabila kematangan agama mereka kuat. Selanjutnya yaitu pendirian rumah ibadah, pendirian ini sering menjadikan konflik intern dan bisa menjadi konflik antar agama. Tantangan berikutnya yaitu kekerasan antarumat beragama khusunya terhadap kelompok minoritas. Kelompok mayoritas dan minoritas hanyalah terletak pada perbedaan wilayah saja, jadi tidak perlu dibesar-besarkan.  Dan yang terakhir terkait penafsiran agama yang sempit baik dari segi literatur dan konservatif. Hal ini dapat mengancam kelompok keagamaan yang memiliki tafsir berbeda.
Dari penjelasan tersebut bisa diketahui bahwa tantangan terbesar dalam kemajemukan adalah masyarakat itu sendiri yang kurang dewasa menyikapi perbedaan. Kurang kedewasaan ini bisa terjadi karena pendidikan masyarakat yang relatif rendah dan kurang tegasnya penegak hukum pemerintah dalam menyelesaikan masalah multikultur. Selain itu adanya sikap yang membanggakan budaya sendiri serta meremehkan budaya lain akan merusak kemajemukan yang ada. Masyarakat boleh saja membanggakan diri namun jangan sampai berlebihan sehingga mendiskriminasi kelompok masyarakat lainnya. Sudah banyak masalah yang terjadi, namun hal tersebut tidak memberi pelajaran bagi masyarakat untuk memperbaiki dirinya. Jadi dibutuhkan sikap dewasa dan saling terbuka dalam menghadapi perbedaan.

 B. Upaya merawat kekayaan budaya
- Pendidikan formal, informal, non formal
Salah satu upaya untuk merawat sesuatu adalah dengan terus menyiraminya atau memupuknya. Menyirami dan memupuk yang dimaksud adalah memberikan informasi, wawasan, pengetahuan, dan memberikan perhatian khusus kepada orang yang belum mengetahui. Cara yang bisa dilakukan dalam hal tersebut adalah melalui pendidikan di sekolah dan kampus (formal), keluarga (informal), dan masyarakat (non formal). Pada dasarnya pendidikan merupakan sarana untuk menstransfer budaya yang ada kepada murid-muridnya. Sehingga pendidikan sangat penting untuk mengenalkan keragaman budaya dan merawat keragaman tersebut dalam Nasionalisme Persatuan dan Kesatuan Indonesia.
- Penerapan 4 Pilar Kebangsaan
Dalam beberapa tahun terakhir kita sering mengenal 4 pilar kebangsaan. 4 pilar tersebut adalah Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Dalam merawat keragaman budaya Indonesia maka penerapan 4 pilar dibutuhkan dalam masyarakat. Hal ini supaya menjaga kerukunan masyarakat dan mengurangi konflik beda golongan. Peran pemerintah dalam sosialisasi 4 pilar ini perlu ditingkatkan lagi supaya semua kalangan masyarakat mampu memahami dan menghormati keragaman budaya.
- Intropeksi diri
Ketika terdapat masalah beda golongan sering kali kita menyalahkan pemerintah maupun pihak lain yang terlibat. Hal ini sah-sah saja karena kita diberikan hak untuk berpendapat. Namun sebaiknya tidak perlu terlalu menyalahkan suatu lembaga atau masyarakat, karena akan menambah keruh permasalahan. Yang ada malah akan timbul masalah baru akibat saling menyalahkan tersebut, sebagaimana seperti teori konflik yang dinyatakan oleh ahli. Konflik biasanya terjadi karena ada orang ketiga yang memberikan informasi tidak baik atau memanas-manasi suasana saja. Untuk itu dibutuhkan intropeksi kepada diri sendiri secara mendalam. Dengan dimulai dari diri sendiri maka lama-kelamaan akan menyebar kepada keluarga, teman, masyarakat dan generasi selanjutnya.

C. Analisis ketepatan dan kekurangan strategi
            Dari tiga upaya merawat keragaman yang telah dijelaskan di atas terdapat ketepatan dan kekurangan. Untuk ketepatannya yaitu ketiganya saling berkaitan satu dengan yang lain, kalangan pendidikan memulainya dengan menerapkan 4 pilar kebangsaan dan setiap individu diharapkan akan intropeksi diri suapaya menjadi lebih terbuka dengan keragaman. Dimulai dari diri sendiri akan lebih mudah untuk diinformasikan kepada orang lain. Selanjutnya yaitu semua pihak dari pemerintah dan masyarakat terlibat langsung dalam merawat keragaman budaya. Tidak hanya pemerintah yang aktif memberikan informasi tetapi masyarakat juga aktif untuk menyalurkan informasi kepada yang lain. Dengan kerjasama yang dilakukan oleh semua pihak maka akan mengurangi masalah beda golongan ynag terjadi di Indonesia. Berikutnya adalah menjaga kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat. Jangan sampai terjadi ketidakstabilan Politik di Pemerintahan yang akan mengurangi perhatian kepada masyarakat.
            Kekurangan yang utama dalam upaya merawat keberagaman adalah ralisasi nyata dari konsep dan teori yang telah dibuat. Memang teori didapatkan dari fakta dilapangan, tetapi ketika sudah terjun langsung maka situasi dan kondisi akan berbeda. Itulah dinamika dalam kehidupan, sehingga tidak mungkin bisa semua berjalan dengan lancar. Kekurangan selanjutnya adalah perhatian semua kalangan tidak pada keragaman budaya, tetapi kepada hal yang berkaitan dengan perekonomian. Manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas sehingga banyak yang lebih memikirkan ekonomi dibanding dengan yang lain. Kenyataan ini memang terjadi dimana-mana mengingat kesejahteraan belum bisa merata. Sebagaimana teori kebutuhan dari Maslow yang menyatakan bahwa kebutuhan pertama dimulai dari mendapatkan kebutuhan dasar. Ketika kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan telah terpenuhi barulah manusia akan memikirkan hal lainnya. Hal lainnya yang dimaksud itu adalah tingkatan kebutuhan manusia yang meliputi kebutuhan keamanan dan kenyamanan, kebutuhan kehormatan, kebutuhan pengakuan diri, dan kebutuhan pengaktualisasikan diri.

La’lang, Rakhmawaty. 2014. Ini Tantangan Multikultural Indonesia Menurut Menteri Agama. Online (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/22/nffekh-ini-tantangan-multikultural-indonesia-menurut-menteri-agama) diakses pada 11-12-2014.
Saehuna, Nana. 2010. Merawat Kemajemukan dalam Bingkai NKRI. Online. (http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/08/merawat-kemajemukan-dalam-bingkai-nkri-324704.html) diakses pada 11-12-2014.





4. Kajian 5w + 1h dalam fenomena multikultur
1. What (apa):
Fenomena selama 50 tahun masjid & gereja di Solo hidup mesra satu atap, serta  dibuatnya simbol kedamaian berupa tugu lilin di area tersebut.
2. When (kapan):
Pembangunan gereja terjadi pada tahun 1939, dan pembangunan masjid terletak di kiri gereja pada tahun 1947. Untuk berita dari media online mengenai tempat ibadah ini ditulis pada Sabtu, 8 September 2012 18:02.
3. Where (dimana):
Letak dari kedua temat ibadah tersebut adalah di Jalan Gatot Soebroto No 222 Solo, Jawa Tengah. Untuk letaknya sangat berdekatan sehingga dianggap berdiri satu atap. Contoh bentuk toleransinya adalah tempat imam masjid untuk salat berjamaah secara langsung berbatasan dengan ruang pertemuan gereja yang biasa digunakan untuk aktivitas kegiatan misa jamaahnya. Sehingga antar jamaah selalu menghormati dan tidak terjadi konflik walaupun pada beberapa tahun terakhir ada teror di Kota Solo.
4. Who (siapa):
Fenomena multikultur ini terjadi antara jamaah dari Masjid Al Hikmah dan jamaah dari Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh tokoh agama kristen setempat sebagai berikut:
"Berhimpitan dan bersebelahan tanpa ada jarak sedikitpun baik secara lahiriah bangunan maupun sikap dan perasaan masing-masing umatnya. Bahkan untuk mengabadikan bentuk toleransi itu, masing-masing perwakilan umat Islam maupun Kristen membangun sebuah prasasti Tugu Lilin bercat putih sebagai simbol kebersamaan dan toleransi..." kemudian Untuk penulis dalam berita tersebut adalah Parwito.
5. Why (mengapa):
Toleransi antar umat ini terjadi karena kesemuanya saling menghormati leluhur mereka yang membangun tempat ibadah secara berdekatan. Untuk mengabadikan toleransi tersebut dibuatlah tugu lilin sebagai lambang kedamaian. Prasasti lilin tersebut memiliki tinggi 100 centimeter dan sampai saat ini masih kokoh tegak berdiri di sekitar tempat wudlu perempuan yang terletak di sebelah selatan masjid. Tugu bercat putih tersebut menjadi sumpah janji di antara kedua pemeluk keyakinan yang berbeda untuk bisa hidup rukun dan damai menghindari terjadinya permusuhan serta bentuk memelihara kedamaian selamanya.
6. How (bagaimana):
Awal pembangunan tempat ibadah tersebut sudah berlangsung cukup lama, seperti yang disampaikan oleh Pendeta setempat yaitu Pendeta Widi Atmo Herdjanto. Beliau menjelaskan bahwa gereja itu dibangun lebih dulu pada tahun 1939. Pada Saat itu, gereja didirikan di atas tanah milik seorang ulama sekitar bernama H.Zaini yang telah dibeli oleh sejumlah umat Kristen asal Danukusuman, Solo, Jateng. Saat bangunan gereja tersebut dibangun, para pendiri juga sudah mengetahui ihwal rencana pembangunan mushola, yang direalisasikan tahun 1947, tepat di sisi utara gereja. Sejak saat itu kerukunan kedua umat beragama ini terjalin, layaknya kedua bangunan tempat ibadah yang mempunyai satu alamat bersama.
            Sikap toleransi yang terjalin di Solo ini bahkan menyebar ke seluruh pelosok dunia sehingga banyak orang asing yang berkunjung. Selain ingin melihat dari dekat, mereka juga ingin mengetahui kunci kerukunan yang terjadi antara umat beragama tersebut. Bahkan, dua bulan lalu sebelum terjadinya aksi teror beberapa kali di Solo, mendapatkan kunjungan spesial dari kalangan tokoh agama Eropa. Bentuk saling toleransi yang telah ada dalam masyarakat setempat sempat goyah ketika ada teror konflik di Solo. Kemungkinan besar teror ini dilakukan oleh salah satu organisasi keagamaan garis keras yang ingin membuat kedamaian dengan memerangi kekejian, namun tindakan tersebut malah membuat keresahan dikalangan masyarakat. Sebaiknya tindakan tersebut tidak perlu dilakukan karena semua umat dimata tuhan itu sama, tinggal bagaimana manusia itu mempunyai iman yang kuat atau tidak dan berakhlak baik atau tidak.
            Bentuk toleransi antar umat juga diketahui dari penjelasan tokoh agama Islam sebagaimana yang juga dilansir dari narasumber berita online yaitu Bapak Nasir (salah satu pengurus Masjid Al Hikmah). Beliau menegaskan bahwa baik dari pihak gereja maupun masjid sangat menjaga betul arti pentingnya kedamaian, persaudaraan dan persatuan. Sikap toleransi ini secara turun-temurun dari generasi ke generasi dijaga betul selama perjalanan 50 tahun sampai saat ini. Beliau juga meneruskan penjelasannya "...Kita menjaga betul apa yang namanya prinsip dan sikap toleransi. Seperti dalam ajaran agama Islam, 'Lakum Diinukum Waliyadin" yakni agama kita adalah agama masing-masing, namun dengan saling menghormati ritual ibadah kita adalah urusan pribadi masing-masing...”. dari pejelasan tersebut bisa diketahui bahwa agama mengajarkan manusia untuk saling toleransi antar umat karena perbedaan itu sudah kehendak Tuhan YME. Jika kita menolak perbedaan sama halnya menolak ciptaan Sang Kuasa.
Sikap toleransi dan bentuk adanya tempat ibadah yang berdekatan bisa membuktikan bahwa upaya teror yang mencoba untuk memecah belah, kalah dengan kokoh berdirinya kedua bangunan yang bersandingan. Begitu indahnya, kedua bangunan yang berbeda aliran dan agama ini secara otomatis mencerminkan penolakan terhadap adanya upaya perpecahan yang dipicu dengan cara teror dan memecah belah dengan menghembuskan permasalahan isu Suku Agama Ras dan Antar Golongan (SARA). Fenomena seperti yang telah dijelaskan di atas perlu diterapkan di Indonesia dan khususnya di daerah yang rawan masalah agama. Dalam naungan Pancasila maka kemajemukan atau masyarakat multikultural haruslah dijaga demi terciptanya persatuan dan kesatuan. Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa membuktikan bahwa dari dahulu tidak menyebutkan siapa tuhan di masing-masing agama. Awalnya memang condong ke agama Islam namun seiring berjalannya waktu maka sila tersebut diubah supaya ada sumber hukum kuat untuk menjalin toleransi antar pemeluk agama.
           

Parwito. 2012 . 50 Tahun Masjid & Gereja di Solo Hidup Mesra Satu Atap. Online (http://www.merdeka.com/peristiwa/50-tahun-masjid-amp-gereja-di-solo-hidup-mesra-satu-atap.html) diakses pada 11-12-2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar