Kamis, 18 Desember 2014

KONFLIK ETNIK DI TANAH PAPUA


KONFLIK ETNIK PAPUA

A. Latar Belakang Konflik
            Menurut Karl Marx, hakekat kenyataan sosial adalah konflik (Krinus, 2012:24). Konflik sendiri merupakan suatu kenyataan sosial yang bisa ditemukan dimana-mana dan penyebab utama konflik dimasyarakat adalah memperebutkan aset-aset yang bernilai. Aset bernilai ini bisa berupa harta benda, kekuasaan, dan seorang pasangan. Maksudnya, masyarakat bisa berkonflik karena harta misalnya hak kepemilikan tanah, kemudian berkonflik karena perebutan kekuasaan tentang siapa yang sesungguhnya memiliki wewenang untuk mengelola suatu wilayah, dan berkonflik karena merebutkan wanita atau kasus perselingkuhan.
            Wilayah yang dirasa sering mengalami konflik khususnya konflik antar etnik yaitu Kabupaten Mimika di Papua. Di Mimika terdapat tujuh suku yang berdomisili, yaitu suku Amungme, Kamoro, Dani, Damal, Ndunga, Mee, dan Moni (Krinus, 2014:45). Dari ketujuh tersebut terdapat dua suku asli Mimika yaitu Amungme yang mendiami wilayah pegunungan dan Kamoro yang mendiami dataran rendah sampai pesisir pantai. Untuk suku lainnya merupakan suku pendatang dari wilayah sekitar Kabupaten Mimika.
            Watak keras yang dimiliki masyarakat asli Papua dikarenakan pengaruh topografi alam dan pola hidupnya di pedalaman. Di wilayah pegunungan misalnya, masyarakat cukup sulit untuk mempertahankan hidupnya sehingga mereka harus bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan hasil alam. Untuk mendapatkan air saja dibutuhkan waktu yang lama karena harus mencari disumber air yang jaraknya jauh dari pemukiman. Hal ini membuat masyarakat mengalami keterkejutan budaya ketika harus berhadapan dengan perkembangan jaman. Akibatnya masyarakat asli masih sangat patuh terhadap hukum adat dibandingkan hukum positif (hukum negara) dalam menyelesaikan konflik.
            Jika dilihat dari waktu lamanya konflik maka konflik etnik sudah berlangsung sejak lama. Jadi jika ada konflik baru sudah dianggap biasa oleh masyarakat setempat. Dikutip dari “Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz” (Mampioper, 2000) dalam (Krimus 2012:46) menyatakan bahwa penyebab konflik etnik pada jaman dahulu dikarenakan hal berikut ini:
1.        Uang harta kawin yang tidak dilunaskan hingga mengakibatkan terjadinya perampasan wanita atau pencurian babi
2.        Korban perang yang tidak dibayar oleh klen yang menjadi pokok perkara atau dalam bahasa suku Amungme disebut wemum
3.        Pelanggaran batas kawasan ketika seseorang/kelompok masyarakat berburu pada daerah yang bukan miliknya.
Pada dasarnya konflik di Mimika bisa dibedakan menjadi dua jenis. Pertama yaitu konflik horizontal antar suku asli Mimika dan kedua konflik vertikal antara suku asli dan pihak keamanan. Contoh konflik horizontal yaitu suku Amungme dan suku Kei dan Mee dengan permasalahan hak kepemilikan tanah. Permasalahan ini berlangsung secara berkepanjangan karena ketidaksepahaman antar suku dalam menyikapinya. Contoh konflik vertikal yaitu ketika ada pimpinan suku yang di tahan pihak kepolisian, hal ini membuat masyarakat suku tersebut mengepung kantor polisi dan biasanya terjadi kerusuhan.
Faktor pendidikan dan ketegasan pihak keamanan atau pihak Pemerintah juga merupakan penyebab intern dan ekstern konflik etnik di Mimika. Pendidikan di sana dirasa kurang merata dengan kekurangan sarana prasarana beserta pendidik yang mengajar. Hal ini membuat generasi muda menjadi minim informasi mengenai pengetahuan dan perkembangan jaman. Bagi pendidik di wilayah tersebut biasanya juga tidak berlama-lama untuk mengajar, hal ini karena ketidaknyamanan mereka karena konflik. Nyawa manusia bagaikan nyawa binatang yang halal-halal saja untuk dibunuh sehingga rasa takut pasti akan muncul. Pihak keamanan juga tidak mampu berbuat banyak ketika konflik terjadi dan meluas dimana-mana, mereka seakan-akan juga takut dengan panah dan tombak yang berterbangan. Hanya mendamaikan secara persuasif yang bisa dilakukan, padahal pihak keamanan mempunyai kewajiban yang tegas untuk menghentikan konflik dan menghukum yang melanggar supaya ada efek jera. Keberanian dan ketegasan itulah yang sebaiknya dimiliki supaya meredam konflik antar etnik di Papua khususnya di wilayah Mimika.

B. Terjadinya Konflik dan Penyelesaiannya
Konflik etnik yang besar pernah terjadi di Mimika pada sekitar tahun 1950-an. Konflik ini menimbulkan banyak kerugian bagi kedua suku, namun konflik bisa terselesaikan melalui peran pastur dan tokoh pendidikan setempat. Mereka sering berdialog dengan masyarakat suku untuk tidak membudayakan konflik melalui pembangunan sarana pendidikan dan sarana keagamaan. Melalui pendidikan dan keagamaan maka masyarakat khususnya generasi muda mampu diarahkan untuk bersikap toleransi antar suku dan tidak saling mengunggulkan sukunya sendiri. Keimanan mereka diperkuat dengan ceramah-ceramah agama oleh pemimpin agama atau pastur dan pengetahuan mereka didapat dari tokoh pendidik. Dari pendekatan penyelesaian tersebut konflik antar etnik  mampu dikurangi.
Peran Pimpinan Pemerintah juga bisa untuk menghentikan konfik yang ada di Mimika. Pimpinan ini biasanya berasal dari tokoh suku yang pernah menjadi kepala suku  dan sebelumnya aktif dalam peperangan. Jadi ketika ada sebuah konflik kemudian pimpinan ini turun langsung dilapangan maka masyarakat menjadi segan dan akan menghentikan konflik.
Cara penyelesaian lain bisa dilakukan dengan negosiasi antara Pemerintah setempat dan pimpinan suku yang berkonflik. Dari negosiasi ini dapat ditemukan berbagai cara untuk menyelesaikannya seperti yang dilansir dari rekomendasi ketua DPRD setempat yang berisikan beberapa poin diantaranya:
1.        DPRD mempercayakan tim kecil yang dibentuk untuk membantu pihak keamanan melakukan pendekatan secara persuasif
2.        Pihak keamanan perlu melakukan tindakan tegas terhadap pimpinan perang, bila perlu ditangkap dan diproses secara hukum positif yang berlaku. Perlu penambahan personil keamanan di wilayah rawan konflik
3.        Dilakukan pemekaran wilayah agar ada kewibawaan pemerintah dan pembinaan bagi masyarakat
4.        Diberlakukan larangan peredaran minuman beralkohol dan menghentikan miras saat konflik berlangsung supaya tidak menambah masalah baru
5.        Pihak keamanan menjamin keamanan bagi anak sekolah dan masyarakat umum yang tidak berkonflik dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Berdasarkan laporan Sambing Kiss RG Koibur, 2006 dalam (Krimus 2012:49) merinci penyebab konflik antar etnik di Mimika dan pihak yang menanggung konflik adalah sebagai berikut:
1.        Bila anak gadis orang lain diambil tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga dekat anak gadis itu. Pada era 1990-an, soal seperti ini diselesaikan dengan membayar lima ekor babi. Tapi kemudian, denda bisa dibayar dengan uang.
2.        Bila istri berselingkuh dengan pria lain (meskipun si lelaki bagian keluarga). Penyelesaiannya didenda lima ekor babi, setelah itu bisa akur kembali. Tapi, bila pihak laki-laki bersikeras, maka setelah dibuat denda adat, sang istri dicerai.
3.        Pencurian terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang sering dipakai sebagai maskawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Penyelesaiannya dibuat acara potong dua ekor babi, lalu barang berharga yang dicuri itu dikembalikan.
4.        Pencurian terhadap hewan piaraan, seperti babi, burung, atau tanaman di kebun (ladang). Penyelesaiannya, diselenggarakan rapat, lalu dilakukan pembayaran denda tiga ekor babi sebagai ganti rugi.
5.        Bila ada dua orang berbeda marga makan bersama, setelah saling berpisah salah satunya sakit. Ini bisa menimbulkan rasa curiga kepada orang yang sebelumnya makan bersama si sakit.
6.        Bila ada sepuluh orang bekerja di ladang, kemudian salah satu diantaranya terluka. Kecurigaan korban dilukai oleh sembilan orang lain bisa muncul bila tidak ada penjelasan kepada keluarganya.
7.        Misalnya ada tiga anak bermain bersama, kemudian salah satunya tiba-tiba sakit. Dua anak lainnya akan dimintai penjelasan. Bila tidak ada penjelasan yang baik dari kedua anak tersebut, orang tua akan menyelesaikannya.
Peran pimpinan suku dalam menyelesaikan konflik juga sangat penting. Jika terdapat konflik antar suku maka pimpinan ini bertanggung jawab sepenuhnya jika ada yang mengalami luka-luka dan korban jiwa. Pimpinan beserta masyarakat harus membayar kepala korban yang meninggal dengan uang dan beberapa babi. Hal ini sudah dilakukan selama berabad-abad oleh nenek moyang suku tersebut. Konflik bisa diakhiri melalui beberapa tahap, tahap pertama yaitu negosiasi tentang keputusan untuk berdamai dari suku yang konflik. Kemudian mengadakan upacara adat dengan memberikan makanan untuk pihak laki-laki dan beberapa minggu kemudian upacara memberikan makanan untuk pihak perempuan. Selanjutnya adalah simbolisasi mematahkan panah dan membuangnya ke sungai sebagai bukti menghentikan konflik. Dan tahap terakhir yaitu berjabat tangan antar suku yang berkonflik. Untuk masalah membayar korban meninggal dilakukan setelah perdamaian terjadi.
Berita terakhir yang dilansir dari media online menyatakan terdapat perang antar suku atau etnik di Mimika dengan menelan empat korban jiwa. Berdasarkan informasi yang ada konflik dikarenakan perebutan lahan oleh dua suku. Perebutan ini membuat mereka salah paham dan saling menyerang. Dan konflik ini tidak berkepanjangan karena segera diatasi pihak keamanan setempat. Suku yang berperang mengakhirinya dengan melakukan upacara patah panah.
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa terdapat dua cara untuk menyelesaikan konflik etnik di Mimika. Pertama yaitu dengan diselesaikan secara hukum positif atau pihak keamanan. Kemudian cara kedua dengan melaksanakan hukum adat yang ada sejak jaman dahulu. Tidak pernah ada yang dianggap paling ampuh dalam penyelesaian konflik dimanapun tempatnya. Yang ada hanya teori-teori untuk menyelesaikan, dan dalam prakteknya banyak unsur lain yang tidak mudah untuk dituntaskan sampai akar konfliknya. Mungkin dengan mengetahui dan memahami karakter masyarakat setempat cara penyelesaian konflik bisa diterapkan. Jadi tidak semua wilayah dengan jenis konflik sama bisa diselesaikan dengan cara yang sama pula.





Daftar Pustaka

Kum, Krinus. 2012. Konflik Etnik (Telaah Kritis dan Konstruktif atas Konflik Etnis di Tanah Papua). Yogyakarta: Litera Buku.

Janur, Atharina. 2014. Perang Suku di Mimika, 4 Tewas. Online (http://news.liputan6.com/read/2019696/perang-suku-di-mimika-4-tewas) diakses pada 22-11-2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar