KONFLIK ETNIK PAPUA
A. Latar Belakang Konflik
Menurut Karl Marx, hakekat kenyataan
sosial adalah konflik (Krinus, 2012:24). Konflik sendiri merupakan suatu
kenyataan sosial yang bisa ditemukan dimana-mana dan penyebab utama konflik
dimasyarakat adalah memperebutkan aset-aset yang bernilai. Aset bernilai ini
bisa berupa harta benda, kekuasaan, dan seorang pasangan. Maksudnya, masyarakat
bisa berkonflik karena harta misalnya hak kepemilikan tanah, kemudian
berkonflik karena perebutan kekuasaan tentang siapa yang sesungguhnya memiliki
wewenang untuk mengelola suatu wilayah, dan berkonflik karena merebutkan wanita
atau kasus perselingkuhan.
Wilayah yang dirasa sering mengalami
konflik khususnya konflik antar etnik yaitu Kabupaten Mimika di Papua. Di
Mimika terdapat tujuh suku yang berdomisili, yaitu suku Amungme, Kamoro, Dani,
Damal, Ndunga, Mee, dan Moni (Krinus, 2014:45). Dari ketujuh tersebut terdapat
dua suku asli Mimika yaitu Amungme yang mendiami wilayah pegunungan dan Kamoro
yang mendiami dataran rendah sampai pesisir pantai. Untuk suku lainnya
merupakan suku pendatang dari wilayah sekitar Kabupaten Mimika.
Watak keras yang dimiliki masyarakat
asli Papua dikarenakan pengaruh topografi alam dan pola hidupnya di pedalaman.
Di wilayah pegunungan misalnya, masyarakat cukup sulit untuk mempertahankan
hidupnya sehingga mereka harus bekerja keras dalam memenuhi kebutuhan dengan
mengandalkan hasil alam. Untuk mendapatkan air saja dibutuhkan waktu yang lama
karena harus mencari disumber air yang jaraknya jauh dari pemukiman. Hal ini
membuat masyarakat mengalami keterkejutan budaya ketika harus berhadapan dengan
perkembangan jaman. Akibatnya masyarakat asli masih sangat patuh terhadap hukum
adat dibandingkan hukum positif (hukum negara) dalam menyelesaikan konflik.
Jika dilihat dari waktu lamanya
konflik maka konflik etnik sudah berlangsung sejak lama. Jadi jika ada konflik
baru sudah dianggap biasa oleh masyarakat setempat. Dikutip dari “Amungme
Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan
Cartenz” (Mampioper, 2000) dalam (Krimus 2012:46) menyatakan bahwa penyebab
konflik etnik pada jaman dahulu dikarenakan hal berikut ini:
1.
Uang harta
kawin yang tidak dilunaskan hingga mengakibatkan terjadinya perampasan wanita
atau pencurian babi
2.
Korban perang
yang tidak dibayar oleh klen yang menjadi pokok perkara atau dalam bahasa suku
Amungme disebut wemum
3.
Pelanggaran
batas kawasan ketika seseorang/kelompok masyarakat berburu pada daerah yang
bukan miliknya.
Pada dasarnya konflik di Mimika bisa dibedakan
menjadi dua jenis. Pertama yaitu konflik horizontal antar suku asli Mimika dan
kedua konflik vertikal antara suku asli dan pihak keamanan. Contoh konflik
horizontal yaitu suku Amungme dan suku Kei dan Mee dengan permasalahan hak
kepemilikan tanah. Permasalahan ini berlangsung secara berkepanjangan karena
ketidaksepahaman antar suku dalam menyikapinya. Contoh konflik vertikal yaitu
ketika ada pimpinan suku yang di tahan pihak kepolisian, hal ini membuat
masyarakat suku tersebut mengepung kantor polisi dan biasanya terjadi
kerusuhan.
Faktor pendidikan dan ketegasan pihak keamanan atau
pihak Pemerintah juga merupakan penyebab intern dan ekstern konflik etnik di
Mimika. Pendidikan di sana dirasa kurang merata dengan kekurangan sarana
prasarana beserta pendidik yang mengajar. Hal ini membuat generasi muda menjadi
minim informasi mengenai pengetahuan dan perkembangan jaman. Bagi pendidik di wilayah
tersebut biasanya juga tidak berlama-lama untuk mengajar, hal ini karena
ketidaknyamanan mereka karena konflik. Nyawa manusia bagaikan nyawa binatang
yang halal-halal saja untuk dibunuh sehingga rasa takut pasti akan muncul.
Pihak keamanan juga tidak mampu berbuat banyak ketika konflik terjadi dan
meluas dimana-mana, mereka seakan-akan juga takut dengan panah dan tombak yang
berterbangan. Hanya mendamaikan secara persuasif yang bisa dilakukan, padahal
pihak keamanan mempunyai kewajiban yang tegas untuk menghentikan konflik dan
menghukum yang melanggar supaya ada efek jera. Keberanian dan ketegasan itulah
yang sebaiknya dimiliki supaya meredam konflik antar etnik di Papua khususnya
di wilayah Mimika.
B. Terjadinya Konflik dan
Penyelesaiannya
Konflik etnik yang besar pernah terjadi di Mimika
pada sekitar tahun 1950-an. Konflik ini menimbulkan banyak kerugian bagi kedua
suku, namun konflik bisa terselesaikan melalui peran pastur dan tokoh
pendidikan setempat. Mereka sering berdialog dengan masyarakat suku untuk tidak
membudayakan konflik melalui pembangunan sarana pendidikan dan sarana
keagamaan. Melalui pendidikan dan keagamaan maka masyarakat khususnya generasi
muda mampu diarahkan untuk bersikap toleransi antar suku dan tidak saling
mengunggulkan sukunya sendiri. Keimanan mereka diperkuat dengan ceramah-ceramah
agama oleh pemimpin agama atau pastur dan pengetahuan mereka didapat dari tokoh
pendidik. Dari pendekatan penyelesaian tersebut konflik antar etnik mampu dikurangi.
Peran Pimpinan Pemerintah juga bisa untuk
menghentikan konfik yang ada di Mimika. Pimpinan ini biasanya berasal dari
tokoh suku yang pernah menjadi kepala suku
dan sebelumnya aktif dalam peperangan. Jadi ketika ada sebuah konflik
kemudian pimpinan ini turun langsung dilapangan maka masyarakat menjadi segan
dan akan menghentikan konflik.
Cara penyelesaian lain bisa dilakukan dengan
negosiasi antara Pemerintah setempat dan pimpinan suku yang berkonflik. Dari
negosiasi ini dapat ditemukan berbagai cara untuk menyelesaikannya seperti yang
dilansir dari rekomendasi ketua DPRD setempat yang berisikan beberapa poin
diantaranya:
1.
DPRD mempercayakan
tim kecil yang dibentuk untuk membantu pihak keamanan melakukan pendekatan
secara persuasif
2.
Pihak keamanan
perlu melakukan tindakan tegas terhadap pimpinan perang, bila perlu ditangkap
dan diproses secara hukum positif yang berlaku. Perlu penambahan personil keamanan
di wilayah rawan konflik
3.
Dilakukan
pemekaran wilayah agar ada kewibawaan pemerintah dan pembinaan bagi masyarakat
4.
Diberlakukan
larangan peredaran minuman beralkohol dan menghentikan miras saat konflik
berlangsung supaya tidak menambah masalah baru
5.
Pihak keamanan
menjamin keamanan bagi anak sekolah dan masyarakat umum yang tidak berkonflik
dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Berdasarkan laporan Sambing Kiss RG Koibur, 2006
dalam (Krimus 2012:49) merinci penyebab konflik antar etnik di Mimika dan pihak
yang menanggung konflik adalah sebagai berikut:
1.
Bila anak
gadis orang lain diambil tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga dekat anak
gadis itu. Pada era 1990-an, soal seperti ini diselesaikan dengan membayar lima
ekor babi. Tapi kemudian, denda bisa dibayar dengan uang.
2.
Bila istri
berselingkuh dengan pria lain (meskipun si lelaki bagian keluarga).
Penyelesaiannya didenda lima ekor babi, setelah itu bisa akur kembali. Tapi,
bila pihak laki-laki bersikeras, maka setelah dibuat denda adat, sang istri
dicerai.
3.
Pencurian
terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang sering dipakai sebagai
maskawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Penyelesaiannya dibuat acara
potong dua ekor babi, lalu barang berharga yang dicuri itu dikembalikan.
4.
Pencurian
terhadap hewan piaraan, seperti babi, burung, atau tanaman di kebun (ladang). Penyelesaiannya,
diselenggarakan rapat, lalu dilakukan pembayaran denda tiga ekor babi sebagai
ganti rugi.
5.
Bila ada dua
orang berbeda marga makan bersama, setelah saling berpisah salah satunya sakit.
Ini bisa menimbulkan rasa curiga kepada orang yang sebelumnya makan bersama si
sakit.
6.
Bila ada
sepuluh orang bekerja di ladang, kemudian salah satu diantaranya terluka.
Kecurigaan korban dilukai oleh sembilan orang lain bisa muncul bila tidak ada
penjelasan kepada keluarganya.
7.
Misalnya ada
tiga anak bermain bersama, kemudian salah satunya tiba-tiba sakit. Dua anak
lainnya akan dimintai penjelasan. Bila tidak ada penjelasan yang baik dari
kedua anak tersebut, orang tua akan menyelesaikannya.
Peran pimpinan suku dalam menyelesaikan konflik juga
sangat penting. Jika terdapat konflik antar suku maka pimpinan ini bertanggung
jawab sepenuhnya jika ada yang mengalami luka-luka dan korban jiwa. Pimpinan
beserta masyarakat harus membayar kepala korban yang meninggal dengan uang dan
beberapa babi. Hal ini sudah dilakukan selama berabad-abad oleh nenek moyang suku
tersebut. Konflik bisa diakhiri melalui beberapa tahap, tahap pertama yaitu
negosiasi tentang keputusan untuk berdamai dari suku yang konflik. Kemudian
mengadakan upacara adat dengan memberikan makanan untuk pihak laki-laki dan
beberapa minggu kemudian upacara memberikan makanan untuk pihak perempuan.
Selanjutnya adalah simbolisasi mematahkan panah dan membuangnya ke sungai
sebagai bukti menghentikan konflik. Dan tahap terakhir yaitu berjabat tangan
antar suku yang berkonflik. Untuk masalah membayar korban meninggal dilakukan
setelah perdamaian terjadi.
Berita terakhir yang dilansir dari media online
menyatakan terdapat perang antar suku atau etnik di Mimika dengan menelan empat
korban jiwa. Berdasarkan informasi yang ada konflik dikarenakan perebutan lahan
oleh dua suku. Perebutan ini membuat mereka salah paham dan saling menyerang.
Dan konflik ini tidak berkepanjangan karena segera diatasi pihak keamanan
setempat. Suku yang berperang mengakhirinya dengan melakukan upacara patah
panah.
Dari penjelasan di atas bisa dikatakan bahwa
terdapat dua cara untuk menyelesaikan konflik etnik di Mimika. Pertama yaitu
dengan diselesaikan secara hukum positif atau pihak keamanan. Kemudian cara
kedua dengan melaksanakan hukum adat yang ada sejak jaman dahulu. Tidak pernah ada
yang dianggap paling ampuh dalam penyelesaian konflik dimanapun tempatnya. Yang
ada hanya teori-teori untuk menyelesaikan, dan dalam prakteknya banyak unsur
lain yang tidak mudah untuk dituntaskan sampai akar konfliknya. Mungkin dengan
mengetahui dan memahami karakter masyarakat setempat cara penyelesaian konflik
bisa diterapkan. Jadi tidak semua wilayah dengan jenis konflik sama bisa
diselesaikan dengan cara yang sama pula.
Daftar Pustaka
Kum, Krinus. 2012. Konflik Etnik (Telaah Kritis dan Konstruktif
atas Konflik Etnis di Tanah Papua). Yogyakarta: Litera Buku.
Janur, Atharina. 2014. Perang Suku di Mimika, 4 Tewas. Online (http://news.liputan6.com/read/2019696/perang-suku-di-mimika-4-tewas)
diakses pada 22-11-2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar