Rabu, 04 November 2015

EGALITARIAN



1.      Pengertian Egalitarianisme
           Egalitarianisme (berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti "sama"), adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas kesetaraan dari beberapa macam premis umum misalkan bahwa seseorang harus diperlakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Dalam pengertian doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda dalam bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara setara dan memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama atau dalam pengertian filsafat sosial penganjuran penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang atau adanya semacam redistribusi/desentralisasi kekuasaan

2.      Prinsip-prinsip Egalitarianisme
           David Cooper memaparkan beberapa prinsip egalitarianisme yang banyak  dipakai untuk mendasari tuntutan kesetaraan. Satu demi satu prinsip itu akan dibahas dan disaring sampai tinggal hanya satu prinsip saja yang menurutnya dapat dijadikan sebagai prinsip yang mendasari tuntutan kesetaraan. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu :
2.1  Prinsip Kegunaan (Principle of Utility)
Prinsip ini menekankan kegunaan atau manfaat sebagai tolak ukur untuk menilai dan mengambil keputusan. Suatu tindakan atau keputusan dikatakan berguna bila semakin banyak orang yang mendapat keuntungan dari tindakan tersebut.Prinsip ini berkaitan erat dengan dua premis yakni: pertama, manusia memiliki kemampuan yang sama untuk ‘mengambil manfaat’ (extracting utility) seperti kebahagiaan;  rasa  senang dari  sesuatu yang  pada dasarnya memberikan manfaat seperti pendapatan, status dan apa saja (utility goods). Kedua, hal-hal seperti itu (pendapatan, status) ‘akan cenderung mengalami kekurangan manfaat’ (subject to diminishing marginal utility) bila telah  mencapai  tahap  yang  maksimum. Dengan demikian wajarlah bila seseorang yang memiliki utility goods dalam jumlah yang berlebihan memberikannya kepada orang yang berada dalam kekurangan utility goods tertentu.
David Cooper menyajikan beberapa alasan untuk menolak prinsip dan kedua premis tersebut :
a.       Prinsip utilitas hanya mampu memenuhi ‘syarat yang perlu’ (necessary condition) sebagai prinsip egalitarianisme. Sebab prinsip ini hanya berlaku bagi kebutuhan dasar manusia. Tapi untuk kebutuhan yang lebih tinggi manusia mempunyai selera dan kemampuan yang berbeda-beda. Jadi, prinsip ini tidak dapat memenuhi syarat prinsip egalitarianisme karena tidak mampu mencapai kesetaraan maksimum sebagaimana diharapkan oleh kaum egalitarian.
b.      Premis yang mengatakan bahwa kebahagiaan atau rasa puas akan berkurang bila telah mencapai tingkat maksimum ternyata tidak terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kenaikan gaji 10 persen belum tentu memberi kebahagiaan lebih besar bagi mereka yang berpenghasilan satu juta rupiah daripada mereka yang berpenghasilan delapan ratus ribu rupiah. Atau, seorang perokok tidak akan membedakan antara kepuasaan rokok yang kesembilan dan keduapuluh. Jadi, kenaikan pendapatan (atau bertambahnya jumlah rokok yang diisap) tidak dengan sendirinya mengurangi kebahagiaan  atau rasa puas bahkan dapat saja terjadi yang sebaliknya.
c.       Setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mencapai kebahagiaan, kepuasaan, kesenangan atau yang sejenisnya. Misalnya, banyak remaja yang melacurkan dirinya hanya untuk membeli pakaian atau perhiasan (pakaian, perhiasan memberikan rasa puas, bangga). Atau, seorang  mantan pejabat dapat saja menghabiskan uangnya hanya demi  penampilan (penampilan memberi rasa bangga, hormat).
2.2  Prinsip Akal Murni (Principle of Pure Reason)
 Menurut prinsip ini, suatu tindakan hanya dilakukan berdasarkan pertimbangan yang rasional. Artinya, A tidak akan diperlakukan dengan cara yang berbeda/sama dengan B kecuali bila ditemukan adanya perbedaan dan persamaan antara keduanya. Prinsip ini kerap digunakan untuk menentang perlakuan diskriminatif, perlakuan sewenang-wenang atau prasangka buruk. Prinsip ini tidak memadai sebagai prinsip egalitarianisme karena:
a.    Sekalipun semua orang menentang perlakuan diskriminatif atau prasangka buruk terhadap orang lain, namun hal itu tidak berarti bahwa ada ‘kesepakatan mendasar’ (substantive agreement) di antara mereka. Dalam kenyataannya, setiap orang memiliki tingkat penolakan yang berbeda-beda terhadap perlakuan tersebut.
b.   Perilaku diskriminatif kerap ditentukan oleh perasaan subjektif sehingga sulit dipersalahkan. Misalnya, seorang pedagang bunga tidak dapat dituduh memperlakukan para pelanggannya secara diskriminatif bila kepada seorang  gadis ia tersenyum ramah sementara kepada seorang bapak tua dia tidak tersenyum. Atau, seorang pemuda tidak dapat dituduh melakukan tindakan diskriminatif bila ia mengungkapkan cintanya pada gadis tertentu dan bukan pada gadis yang lain sekalipun ia tidak dapat menjelaskan perbedaan yang terdapat dalam diri gadis-gadis itu?
Bagaimana hal ini dapat dijelaskan dalam konteks pendidikan? Sekolah tidak melakukan penilain diskriminatif berdasarkan perasaan tetapi berdasarkan tujuan pendidikan. Namun tidak berarti bahwa prinsip ini dapat dijadikan sebagai prinsip egalitarianisme dalam pendidikan karena:
a.       Kaum egalitarian menuntut agar sekolah tidak hanya menguntungkan siswa yang cemerlang. Sementara Prinsip Akal Murni akan mengatakan bahwa sekolah harus memperlakukan anak sesuai dengan kepandaiannya. Maka tentu saja anak yang cemerlang akan selalu lebih beruntung.
b.      Kaum egalitarian menuntut kebijakan pembauran sosial (social-mixing) di universitas. Tuntutan ini mengandaikan bahwa latar belakang sosial dan ekonomi tidak berpengaruh dalam penerimaan untuk masuk universitas. Sementara Prinsip Akal Murni akan mengatakan sebaliknya yakni bahwa perbedaan sosial dan ekonomi turut menentukan apakah seorang calon siswa dapat diterima atau tidak.
2.3  Prinsip Keadilan ( Principle of Justice)
 Ciri khas prinsip ini adalah menentang ketidakadilan. Ketidakadilan dapat berupa pelanggaran hukum atau kebijakan yang salah sehingga ada pihak yang dirugikan.
Pinsip ini tidak dapat dijadikan sebagai prinsip egalitarianisme karena tuntutan kesetaraan bukan masalah keadilan atau ketidakadilan. Misalnya, dosen A mendapat gaji satu juta rupiah ; dosen B mendapat gaji satu setengah juta rupiah. Dosen A tidak berhak menuntut kenaikan gaji sebesar dosen B (satu setengah juta rupiah), sebelum ia mampu membuktikan bahwa ia memiliki kepandaian serta pengalaman yang sama dengan dosen B. Perbedaan pada diri penuntut ( antara dosen A- B) tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut keadilan. Sejalan dengan argumentasi tersebut,  ia mengutip pendapatRobert Nozickyang mengatakan bahwa keadilan atau pendapatan tergantung dari bagaimana pendapatan itu diperoleh. Artinya, ketidakadilan hanya dapat diatasi  dengan mencari penyebab ketidakadilan itu.

2.4  Prinsip Perbedaan (Difference Principle)
 Dari semua prinsip yang telah dibahas prinsip inilah yang memenuhi syarat sebagai prinsip egalitarianisme. Prinsip ini dikutip dari pemikiran John Rawls tentang Teori Keadilan. Salah satu syarat keadilan menurut Rawls adalah terpenuhinya Prinsip Perbedaan. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa ketidaksetaraan sosial-ekonomi dalam masyarakat harus ditata sedemikian rupa sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pada akhirnya akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang paling tidak  beruntung. Yang dimaksud dengan ‘mereka yang paling tidak beruntung’ adalah masyarakat atau sekelompok masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk menggapai status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Untuk menjamin terlaksananya keadilan dalam masyarakat Rawls menempatkan individu dalam ‘kedudukan asali’ (the original position) saat sebuah kebijakan distribusi kebutuhan dilakukan. Kedudukan asali berarti keadaan di mana individu atau kelompok tidak mengtahui kedudukan, status sosial, kekuatan, nasib atau kecerdasannya. Dengan kata lain, mereka berada dibawah ‘tabir ketidaktahuan’ (veil of ignorance).Jika prinsip ini diabaikan maka besar kemungkinan kriteria distribusi akan ditentukan oleh kekuatan atau kelemahan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, orang yang mengandalkan pikiran atau tenaga cenderung menetapkan kriteria distribusi berdasarkan apa yang mereka miliki yakni, pikiran atau tenaga. Prinsip ini mengandung suatu pengandaian yang pantas dicatat, yakni : masyarakat terlebih dahulu harus memiliki potensi untuk melakukan distribusi kebutuhan atau penghasilan. Artinya, segala sesuatu (kebutuhan atau penghasilan) yang hendak dibagikan harus terlebih dahulu terdapat dalam jumlah yang besar.
David Cooper memilih Prinsip Perbedaan sebagai prinsip egalitarianisme karena :
a. Prinsip ini mudah dan sederhana.
b.Dalam waktu singkat prinsip ini telah memperlihatkan pengaruh yang luas.
c. Prinsip ini merupakan rumusan dasar bagi  prinsip egalitarianisme yang lebih luas.
3.      Ekonomi Egalitarianisme
 Berbicara soal pemerataan, yang perlu dijawab lebih dulu: apa yang mau diratakan (what equality)? Jawabannya bisa sangat beragam. Argumen egalitarian menuntut distribusi yang seragam atas aspek-aspek yang objektif dan terukur. Misalnya, kekayaan atau kepemilikan. Egalitarian, pada prakteknya, cenderung menolak mekanisme pasar. Sebab, persaingan dalam pasar jelas tidak akan selalu mendistribusi yang seragam untuk hal-hal tersebut.
Persoalannya, egalitarian juga mengasumsikan semua individu memiliki preferensi yang seragam. Taruhlah, ada sepuluh apel dan sepuluh jeruk harus dibagikan kepada sepuluh orang. Menurut paham egalitarian, distribusi yang adil jika masing-masing memperoleh satu apel dan satu jeruk. Tapi, adakah yang bisa mengklaim bahwa preferensi atas apel dan jeruk seragam? Perbedaan preferensi ini yang tidak terakomodasi dalam paham egalitarian. Dengan kata lain, pemerataan dalam konteks egalitarian akan mengorbankan keragaman individu yang ada dalam masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, ironisnya egalitarian membutuhkan sistem yang diktatorial. Adalah mustahil untuk menciptakan distribusi yang sama rata dan di saat bersamaan mengakomodasi preferensi yang beragam dari sekian banyak individu.    
Kesimpulan  ini diajukan Arrow (1962) dalam impossibility theorem-nya yang membawa beliau  sebagai pemenang Nobel ekonomi. Solusinya, harus ada seorang individu yang preferensinya bisa dianggap sebagai representasi keseluruhan. Prakteknya, solusi ini dapat di simpulkan sebagai intervensi negara dalam transaksi sosial-ekonomi. Negaralah yang menentukan apa yang harus dikonsumsi dan diproduksi masyarakat. Ruang bagi otoritas menjadi terbuka.
Mekanisme pasar, untuk beberapa hal, menjadi antitesis terhadap egalitarian. Pemerataan, menurut mekanisme pasar, adalah pemerataan dalam akses terhadap sumber daya serta kesempatan untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Jika kondisi ini terpenuhi, dan kompetisi berjalan sempurna, mekanisme pasar akan membebaskan individu untuk memaksimalkan keuntungan pribadi sepanjang tidak melanggar hak individu yang lain. Karena itu, peran negara dalam pasar adalah sebatas menjaga agar pasar bekerja sempurna dan menjamin tidak dilanggarnya hak tiap individu.
Artinya, kompetisi yang sempurna adalah kompetisi yang adil, karena tidak ada pelaku ekonomi yang bisa memperoleh keuntungan berlebih. Keuntungan yang berlebih, atau rente ekonomi, hanya bisa diperoleh dalam struktur pasar yang tidak sempurna. Seperti monopoli atau oligopoli. Atas penjelasan ini, klaim bahwa pasar selalu berpihak pada yang berpunya menjadi lemah. Sistem pasar bebas justru tidak menjustifikasi monopoli—termasuk monopoli oleh negara, kolusi, nepotisme, serta praktek bisnis yang kotor. Alasannya, praktek-praktek tersebut bertabrakan dengan prinsip kompetisi bebas dan keadilan dalam kesempatan.Kasus Indonesia.
Orde Baru selalu dianggap menerapkan mekanisme pasar secara kaku. orientasi kebijakan ekonomi Orde Baru justru sangat bersifat intervensionis dan bertentangan dengan karakteristik pasar. Indikatornya bisa kita lihat dari pola industrialisasi pada era 1970-an, yang justru berorientasi pada industri berat yang proteksionis dan cenderung padat modal. Padahal, keunggulan komparatif Indonesia adalah tenaga kerja yang murah. Artinya, jika logika pasar yang digunakan, harusnya industri yang berkembang adalah yang berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001).
Periode di mana mekanisme pasar paling mendekati kenyataan baru terjadi tahun 1985 hingga awal 1990-an. Kejatuhan harga minyak mendorong dilaksanakannya sejumlah deregulasi dan diturunkannya struktur proteksi. Dampaknya, peran ekspor yang padat tenaga kerja serta industri menengah kecil mulai meningkat. Indikator-indikator sosial pun menunjukkan perbaikan taraf hidup. Koefisien Gini menurun, demikian juga angka kemiskinan absolut dan relative (Booth, 2000).
Setelah 1992, pendulum ekonomi mulai bergerak menjauhi mekanisme pasar, walaupun di satu sisi Indonesia memberikan komitmen pada perdagangan bebas dan liberalisasi investasi. Satu indikatornya adalah menguatnya industri strategis yang membutuhkan proteksi dan monopoli. Indikator lainnya adalah berkembangnya kapitalis kroni, yang diwarnai sejumlah kebijakan antipasar seperti tata niaga atau mobil nasional. Terlepas dari sebagai perdebatan soal keabsahannya, koefisien Gini juga menunjukkan tren meningkat sejak pertengahan 1990-an. Artinya, distribusi pendapatan yang sempat merata selama periode ”mendekati pasar” menjadi makin tidak merata ketika intervensi negara membesar.
Ilustrasi di atas menunjukkan kontradiksi antara klaim bahwa ekonomi pasar menciptakan ketimpangan dengan kondisi empiris di Indonesia. Sebaliknya, temuan tersebut malah menunjukkan bagaimana ketimpangan justru terjadi ketika campur tangan Negara dalam perekonomian terlalu besar.
Antipasar = propemerataan ?
Memang, selalu ada semangat yang mulia dalam penolakan terhadap ekonomi pasar. Semangat yang didasarkan pada suatu maksud baik untuk berpihak kepada yang dianggap ”lemah” dan menentang yang ”kuat”. Masalahnya, mengutip sebuah sajak Rendra, sering kita harus bertanya juga, ”Maksud baik mana yang kita maksudkan?”
Ekonomi pasar  juga bukan sistem yang sempurna. Ia tidak bisa menawarkan solusi yang mutlak atas permasalahan ekonomi yang dihadapi manusia, termasuk masalah distribusi. Sama halnya dengan sosialisme dan komunisme—yang hadir untuk menjawab masalah distribusi yang dipandang gagal diselesaikan oleh pasar—yang ternyata tidak sepenuhnya mampu menawarkan solusi. Sosialisme dan komunisme pun tidak mampu mencegah terjadinya elitisme di masyarakat, terutama elitisme negara atau birokrasi, yang pada akhirnya juga menciptakan ketimpangan. Selain itu, kedua sistem tersebut juga menghadapi limitasi karena negara tidak selalu mempunyai informasi yang sempurna mengenai apa yang diinginkan masyarakat. Dan, dalam prakteknya, keragaman individu terpaksa dikorbankan.
Setidaknya, dalam ekonomi pasar, ruang bagi negara menjadi otoriter menjadi makin sempit. Negara tidak diberi peranan untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi masyarakat. Sebaliknya, mekanisme pasar justru secara eksplisit mengharuskan negara untuk menjamin kesamaan hak dan kesempatan yang sama dari tiap individu untuk memakmurkan diri.

Daftar Pustaka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar