1.
Pengertian Egalitarianisme
Egalitarianisme
(berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti "sama"), adalah
kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas kesetaraan dari beberapa
macam premis umum misalkan bahwa seseorang harus diperlakukan dan mendapatkan
perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau
budaya. Dalam pengertian doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada
hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara
fundamental Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon terhadap
pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda dalam
bahasa Inggris modern dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik
yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara setara dan memiliki
hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama atau dalam pengertian
filsafat sosial penganjuran penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang
atau adanya semacam redistribusi/desentralisasi kekuasaan
2. Prinsip-prinsip
Egalitarianisme
David
Cooper memaparkan beberapa prinsip egalitarianisme yang banyak dipakai untuk mendasari tuntutan kesetaraan.
Satu demi satu prinsip itu akan dibahas dan disaring sampai tinggal hanya satu
prinsip saja yang menurutnya dapat dijadikan sebagai prinsip yang mendasari
tuntutan kesetaraan. Prinsip-prinsip tersebut, yaitu :
2.1 Prinsip Kegunaan (Principle of
Utility)
Prinsip ini menekankan kegunaan atau
manfaat sebagai tolak ukur untuk menilai dan mengambil keputusan. Suatu
tindakan atau keputusan dikatakan berguna bila semakin banyak orang yang
mendapat keuntungan dari tindakan tersebut.Prinsip ini berkaitan erat dengan
dua premis yakni: pertama, manusia memiliki kemampuan yang sama untuk
‘mengambil manfaat’ (extracting utility) seperti kebahagiaan; rasa
senang dari sesuatu yang pada dasarnya memberikan manfaat
seperti pendapatan, status dan apa saja (utility goods). Kedua, hal-hal
seperti itu (pendapatan, status) ‘akan cenderung mengalami kekurangan manfaat’ (subject
to diminishing marginal utility) bila telah mencapai tahap
yang maksimum. Dengan demikian wajarlah bila seseorang yang
memiliki utility goods dalam jumlah yang berlebihan memberikannya kepada
orang yang berada dalam kekurangan utility goods tertentu.
David Cooper menyajikan beberapa
alasan untuk menolak prinsip dan kedua premis tersebut :
a. Prinsip utilitas hanya mampu
memenuhi ‘syarat yang perlu’ (necessary condition) sebagai prinsip
egalitarianisme. Sebab prinsip ini hanya berlaku bagi kebutuhan dasar manusia.
Tapi untuk kebutuhan yang lebih tinggi manusia mempunyai selera dan kemampuan
yang berbeda-beda. Jadi, prinsip ini tidak dapat memenuhi syarat prinsip
egalitarianisme karena tidak mampu mencapai kesetaraan maksimum sebagaimana
diharapkan oleh kaum egalitarian.
b. Premis yang mengatakan bahwa
kebahagiaan atau rasa puas akan berkurang bila telah mencapai tingkat maksimum
ternyata tidak terbukti dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kenaikan gaji 10
persen belum tentu memberi kebahagiaan lebih besar bagi mereka yang
berpenghasilan satu juta rupiah daripada mereka yang berpenghasilan delapan
ratus ribu rupiah. Atau, seorang perokok tidak akan membedakan antara kepuasaan
rokok yang kesembilan dan keduapuluh. Jadi, kenaikan pendapatan (atau
bertambahnya jumlah rokok yang diisap) tidak dengan sendirinya mengurangi
kebahagiaan atau rasa puas bahkan dapat saja terjadi yang sebaliknya.
c. Setiap orang memiliki caranya
sendiri untuk mencapai kebahagiaan, kepuasaan, kesenangan atau yang sejenisnya.
Misalnya, banyak remaja yang melacurkan dirinya hanya untuk membeli pakaian
atau perhiasan (pakaian, perhiasan memberikan rasa puas, bangga). Atau,
seorang mantan pejabat dapat saja menghabiskan uangnya hanya demi
penampilan (penampilan memberi rasa bangga, hormat).
2.2 Prinsip Akal Murni (Principle of
Pure Reason)
Menurut prinsip ini, suatu tindakan hanya dilakukan
berdasarkan pertimbangan yang rasional. Artinya, A tidak akan diperlakukan
dengan cara yang berbeda/sama dengan B kecuali bila ditemukan adanya perbedaan
dan persamaan antara keduanya. Prinsip ini kerap digunakan untuk menentang
perlakuan diskriminatif, perlakuan sewenang-wenang atau prasangka buruk. Prinsip
ini tidak memadai sebagai prinsip egalitarianisme karena:
a. Sekalipun semua orang menentang
perlakuan diskriminatif atau prasangka buruk terhadap orang lain, namun hal itu
tidak berarti bahwa ada ‘kesepakatan mendasar’ (substantive agreement) di
antara mereka. Dalam kenyataannya, setiap orang memiliki tingkat penolakan yang
berbeda-beda terhadap perlakuan tersebut.
b. Perilaku diskriminatif kerap
ditentukan oleh perasaan subjektif sehingga sulit dipersalahkan. Misalnya, seorang
pedagang bunga tidak dapat dituduh memperlakukan para pelanggannya secara
diskriminatif bila kepada seorang gadis ia tersenyum ramah sementara
kepada seorang bapak tua dia tidak tersenyum. Atau, seorang pemuda tidak dapat
dituduh melakukan tindakan diskriminatif bila ia mengungkapkan cintanya pada
gadis tertentu dan bukan pada gadis yang lain sekalipun ia tidak dapat
menjelaskan perbedaan yang terdapat dalam diri gadis-gadis itu?
Bagaimana hal ini dapat dijelaskan
dalam konteks pendidikan? Sekolah tidak melakukan penilain diskriminatif
berdasarkan perasaan tetapi berdasarkan tujuan pendidikan. Namun tidak berarti
bahwa prinsip ini dapat dijadikan sebagai prinsip egalitarianisme dalam
pendidikan karena:
a. Kaum egalitarian menuntut agar
sekolah tidak hanya menguntungkan siswa yang cemerlang. Sementara Prinsip Akal
Murni akan mengatakan bahwa sekolah harus memperlakukan anak sesuai dengan
kepandaiannya. Maka tentu saja anak yang cemerlang akan selalu lebih beruntung.
b. Kaum egalitarian menuntut kebijakan
pembauran sosial (social-mixing) di universitas. Tuntutan ini
mengandaikan bahwa latar belakang sosial dan ekonomi tidak berpengaruh dalam
penerimaan untuk masuk universitas. Sementara Prinsip Akal Murni akan
mengatakan sebaliknya yakni bahwa perbedaan sosial dan ekonomi turut menentukan
apakah seorang calon siswa dapat diterima atau tidak.
2.3 Prinsip Keadilan ( Principle of
Justice)
Ciri khas prinsip ini adalah menentang ketidakadilan.
Ketidakadilan dapat berupa pelanggaran hukum atau kebijakan yang salah sehingga
ada pihak yang dirugikan.
Pinsip
ini tidak dapat dijadikan sebagai prinsip egalitarianisme karena tuntutan
kesetaraan bukan masalah keadilan atau ketidakadilan. Misalnya, dosen A
mendapat gaji satu juta rupiah ; dosen B mendapat gaji satu setengah juta
rupiah. Dosen A tidak berhak menuntut kenaikan gaji sebesar dosen B (satu
setengah juta rupiah), sebelum ia mampu membuktikan bahwa ia memiliki
kepandaian serta pengalaman yang sama dengan dosen B. Perbedaan pada diri
penuntut ( antara dosen A- B) tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut
keadilan. Sejalan dengan argumentasi tersebut, ia mengutip pendapatRobert
Nozickyang mengatakan bahwa keadilan atau pendapatan tergantung dari bagaimana
pendapatan itu diperoleh. Artinya, ketidakadilan hanya dapat diatasi
dengan mencari penyebab ketidakadilan itu.
2.4 Prinsip Perbedaan (Difference
Principle)
Dari semua prinsip yang telah dibahas prinsip inilah yang
memenuhi syarat sebagai prinsip egalitarianisme. Prinsip ini dikutip dari
pemikiran John Rawls tentang Teori Keadilan. Salah satu syarat keadilan menurut
Rawls adalah terpenuhinya Prinsip Perbedaan. Prinsip ini mengandung pengertian
bahwa ketidaksetaraan sosial-ekonomi dalam masyarakat harus ditata sedemikian
rupa sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pada akhirnya akan memberikan
keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka yang paling tidak beruntung. Yang
dimaksud dengan ‘mereka yang paling tidak beruntung’ adalah masyarakat atau
sekelompok masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk menggapai status
sosial dan ekonomi yang lebih baik. Untuk menjamin terlaksananya keadilan dalam
masyarakat Rawls menempatkan individu dalam ‘kedudukan asali’ (the original
position) saat sebuah kebijakan distribusi kebutuhan dilakukan. Kedudukan
asali berarti keadaan di mana individu atau kelompok tidak mengtahui kedudukan,
status sosial, kekuatan, nasib atau kecerdasannya. Dengan kata lain, mereka
berada dibawah ‘tabir ketidaktahuan’ (veil of ignorance).Jika prinsip
ini diabaikan maka besar kemungkinan kriteria distribusi akan ditentukan oleh
kekuatan atau kelemahan yang dimiliki oleh individu. Misalnya, orang yang
mengandalkan pikiran atau tenaga cenderung menetapkan kriteria distribusi
berdasarkan apa yang mereka miliki yakni, pikiran atau tenaga. Prinsip ini
mengandung suatu pengandaian yang pantas dicatat, yakni : masyarakat terlebih
dahulu harus memiliki potensi untuk melakukan distribusi kebutuhan atau
penghasilan. Artinya, segala sesuatu (kebutuhan atau penghasilan) yang hendak
dibagikan harus terlebih dahulu terdapat dalam jumlah yang besar.
David Cooper memilih Prinsip
Perbedaan sebagai prinsip egalitarianisme karena :
a. Prinsip ini mudah dan sederhana.
b.Dalam waktu singkat prinsip ini
telah memperlihatkan pengaruh yang luas.
c. Prinsip ini merupakan rumusan dasar
bagi prinsip egalitarianisme yang lebih luas.
3.
Ekonomi
Egalitarianisme
Berbicara soal pemerataan, yang perlu dijawab
lebih dulu: apa yang mau diratakan (what equality)? Jawabannya bisa
sangat beragam. Argumen egalitarian menuntut distribusi yang seragam atas
aspek-aspek yang objektif dan terukur. Misalnya, kekayaan atau kepemilikan.
Egalitarian, pada prakteknya, cenderung menolak mekanisme pasar. Sebab,
persaingan dalam pasar jelas tidak akan selalu mendistribusi yang seragam untuk
hal-hal tersebut.
Persoalannya,
egalitarian juga mengasumsikan semua individu memiliki preferensi yang seragam.
Taruhlah, ada sepuluh apel dan sepuluh jeruk harus dibagikan kepada sepuluh
orang. Menurut paham egalitarian, distribusi yang adil jika masing-masing
memperoleh satu apel dan satu jeruk. Tapi, adakah yang bisa mengklaim bahwa
preferensi atas apel dan jeruk seragam? Perbedaan preferensi ini yang tidak
terakomodasi dalam paham egalitarian. Dengan kata lain, pemerataan dalam konteks
egalitarian akan mengorbankan keragaman individu yang ada dalam masyarakat.
Dalam konteks yang
lebih luas, ironisnya egalitarian membutuhkan sistem yang diktatorial. Adalah
mustahil untuk menciptakan distribusi yang sama rata dan di saat bersamaan mengakomodasi
preferensi yang beragam dari sekian banyak individu.
Kesimpulan ini diajukan Arrow (1962) dalam impossibility
theorem-nya yang membawa beliau sebagai
pemenang Nobel ekonomi. Solusinya, harus ada seorang individu yang
preferensinya bisa dianggap sebagai representasi keseluruhan. Prakteknya,
solusi ini dapat di simpulkan sebagai intervensi negara dalam transaksi
sosial-ekonomi. Negaralah yang menentukan apa yang harus dikonsumsi dan
diproduksi masyarakat. Ruang bagi otoritas menjadi terbuka.
Mekanisme pasar, untuk
beberapa hal, menjadi antitesis terhadap egalitarian. Pemerataan, menurut
mekanisme pasar, adalah pemerataan dalam akses terhadap sumber daya serta
kesempatan untuk menjalankan kegiatan ekonomi. Jika kondisi ini terpenuhi, dan
kompetisi berjalan sempurna, mekanisme pasar akan membebaskan individu untuk
memaksimalkan keuntungan pribadi sepanjang tidak melanggar hak individu yang
lain. Karena itu, peran negara dalam pasar adalah sebatas menjaga agar pasar
bekerja sempurna dan menjamin tidak dilanggarnya hak tiap individu.
Artinya, kompetisi yang
sempurna adalah kompetisi yang adil, karena tidak ada pelaku ekonomi yang bisa
memperoleh keuntungan berlebih. Keuntungan yang berlebih, atau rente ekonomi,
hanya bisa diperoleh dalam struktur pasar yang tidak sempurna. Seperti monopoli
atau oligopoli. Atas penjelasan ini, klaim bahwa pasar selalu berpihak pada
yang berpunya menjadi lemah. Sistem pasar bebas justru tidak menjustifikasi
monopoli—termasuk monopoli oleh negara, kolusi, nepotisme, serta praktek bisnis
yang kotor. Alasannya, praktek-praktek tersebut bertabrakan dengan prinsip
kompetisi bebas dan keadilan dalam kesempatan.Kasus Indonesia.
Orde Baru selalu
dianggap menerapkan mekanisme pasar secara kaku. orientasi kebijakan ekonomi
Orde Baru justru sangat bersifat intervensionis dan bertentangan dengan
karakteristik pasar. Indikatornya bisa kita lihat dari pola industrialisasi pada
era 1970-an, yang justru berorientasi pada industri berat yang proteksionis dan
cenderung padat modal. Padahal, keunggulan komparatif Indonesia adalah tenaga
kerja yang murah. Artinya, jika logika pasar yang digunakan, harusnya industri
yang berkembang adalah yang berbasiskan tenaga kerja murah (Basri, 2001).
Periode di mana
mekanisme pasar paling mendekati kenyataan baru terjadi tahun 1985 hingga awal
1990-an. Kejatuhan harga minyak mendorong dilaksanakannya sejumlah deregulasi
dan diturunkannya struktur proteksi. Dampaknya, peran ekspor yang padat tenaga
kerja serta industri menengah kecil mulai meningkat. Indikator-indikator sosial
pun menunjukkan perbaikan taraf hidup. Koefisien Gini menurun, demikian juga
angka kemiskinan absolut dan relative (Booth, 2000).
Setelah 1992, pendulum
ekonomi mulai bergerak menjauhi mekanisme pasar, walaupun di satu sisi
Indonesia memberikan komitmen pada perdagangan bebas dan liberalisasi
investasi. Satu indikatornya adalah menguatnya industri strategis yang
membutuhkan proteksi dan monopoli. Indikator lainnya adalah berkembangnya
kapitalis kroni, yang diwarnai sejumlah kebijakan antipasar seperti tata niaga
atau mobil nasional. Terlepas dari sebagai perdebatan soal keabsahannya,
koefisien Gini juga menunjukkan tren meningkat sejak pertengahan 1990-an.
Artinya, distribusi pendapatan yang sempat merata selama periode ”mendekati pasar”
menjadi makin tidak merata ketika intervensi negara membesar.
Ilustrasi di atas
menunjukkan kontradiksi antara klaim bahwa ekonomi pasar menciptakan
ketimpangan dengan kondisi empiris di Indonesia. Sebaliknya, temuan tersebut malah
menunjukkan bagaimana ketimpangan justru terjadi ketika campur tangan Negara
dalam perekonomian terlalu besar.
Antipasar = propemerataan ?
Memang,
selalu ada semangat yang mulia dalam penolakan terhadap ekonomi pasar. Semangat
yang didasarkan pada suatu maksud baik untuk berpihak kepada yang dianggap
”lemah” dan menentang yang ”kuat”. Masalahnya, mengutip sebuah sajak Rendra,
sering kita harus bertanya juga, ”Maksud baik mana yang kita maksudkan?”
Ekonomi
pasar juga bukan sistem yang sempurna.
Ia tidak bisa menawarkan solusi yang mutlak atas permasalahan ekonomi yang
dihadapi manusia, termasuk masalah distribusi. Sama halnya dengan sosialisme
dan komunisme—yang hadir untuk menjawab masalah distribusi yang dipandang gagal
diselesaikan oleh pasar—yang ternyata tidak sepenuhnya mampu menawarkan solusi.
Sosialisme dan komunisme pun tidak mampu mencegah terjadinya elitisme di
masyarakat, terutama elitisme negara atau birokrasi, yang pada akhirnya juga
menciptakan ketimpangan. Selain itu, kedua sistem tersebut juga menghadapi
limitasi karena negara tidak selalu mempunyai informasi yang sempurna mengenai
apa yang diinginkan masyarakat. Dan, dalam prakteknya, keragaman individu
terpaksa dikorbankan.
Setidaknya,
dalam ekonomi pasar, ruang bagi negara menjadi otoriter menjadi makin sempit.
Negara tidak diberi peranan untuk menentukan apa yang baik dan buruk bagi
masyarakat. Sebaliknya, mekanisme pasar justru secara eksplisit mengharuskan
negara untuk menjamin kesamaan hak dan kesempatan yang sama dari tiap individu
untuk memakmurkan diri.
Daftar
Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Egalitarianisme
diakses 7 November 2014
http://pendidikanbangsa.wordpress.com/bab-1-egalitarianisme/pinsip-prinsip-egalitarian/ diakses 7
November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar