ORANG
BAJO
Resume: Mahasiswa Pendidikan IPS UM 2012
Bagian
Pertama : Pulau Nain
BAB I
: Langkah-Langkah Pertama Sang Epilog di
Lapangan Penelitian
Suku
Bajo tinggal di Indonesia, yaitu di Pulau Nain, disebelah utara kota Manado
(Sulawesi Utara). Pertemuan sang peneliti dengan suku ini terjadi secara tidak
sengaja saat sang peneliti ingin mengunjungi orang-orang gunung yaitu suku
Tomini yang berdian diri di sebelah barat Sulawesi Utara. Suku Bajo ini
merupakan pelaut-pelaut pengembara yang tersebar di seluruh penjuru Asia
Tenggara dan tak seorangpun tahu dari mana mereka berasal.
Rumah
orang Bajo panjangnya kira-kira lima sampai tiga belas meter dan lebarnya tiga
sampai empat meter, paling banyak terdiri atas dua kamar. Letak kamar pertama
sering berada setelah memasuki serambi, yaitu tengga (untuk tamu), dipergunakan kamar tidur kakek-nenek.
Suami-istridan anak-anak yang masih kecil tidur di dalam pores, yaitu kamar yang kedua.
Suku
Bajo merupakan suku pengembara laut, jadi mata pencaharian terbesar mereka
adalah nelayan atau mencari ikan. Hasil tangkapan mereka akan di bagi sesuai
dengan jumlah nelayan, dan dibagi lagi dengan jumlah jala yang dipergunakan
(pemilik jala yang mendapat bagian tersebut, ini sebagai tradisi bahwa hasil
tangkapan ikan juga harus dikembalikan kepada jala).
Perkawinan
adat yang dilakukan suku Bajo di pulau Nain ini yaitu, pertama-tama mereka
mengadakan pertunangan (maso minta).
Selanjutnya diteruskan dengan upacara adat, di mana para gadis-gadis ditugaskan
membawa talam-talam besar yang ditutupi taplak-taplak kecil yang disebut kupeang balanjeang, yang merupakan mas
kawin yang telah ditentukan oleh adat (berupa dua ratus kilo beras dan empat
puluh kilo gula merah, yang dengan sukarela diberikan oleh keluarga pemuda,
untuk dipakai kedua belah keluarga dalam menjamu para tamu selama menantikan
upacara perkawinan dilangsungkan). Menurut adat setelah pernikahan
dilangsungkan, kedua mempelai tinggal di rumah orangtua mempelai perempuan.
Namun seringkali mereka hanya tinggal selama enam bulan atau satu tahun,
kemudian mereka bergabung kembali dengan rumah orangtua mempelai laki-laki.
BAB
II : Di Ambang Pintu Misteri Bajo
Sebagai
suku pengembara laut orang Bajo selalu mengadakan upacara-upacara sebelum
mereka berangkat melaut. Upacara tersebut berlangsung satu hari sebelum
keberangkatan, dan di saat hari keberangkatan. Selain itu ada juga upacara
persembahan sajen yang dilakukan sesaat sebelum keberangkatan perahu atau guiop. Sebuah upacara yang dilaksanakan
dengan cara membakar rumput laut yang dikeringkan untuk melindungi diri dari
kekuatan jahat, yaitu setan laut dan bumi, yang disebut pudi. Selain itu persembahan tersebut ditujukan kepada dewa Aroa
supaya mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang bagus.
Bagian
Kedua : Desa Torosiaje
BAB
I : Berkenalan dengan Desa
Torosiaje
Desa Torosiaje
merupakan rangkaian dari dua, kadang-kadang tiga setengah lingkaran yang
menentukan jenis-jenis jalan yang dilewati oleh perahu. Rangkaian itu juga
menentukan jenis-jenis jalan yang dilewati oleh perahu, di bawah rumah-rumah
desa adalah air. Untuk keluar dari rumah orang harus melompat ke dalam perahu
yang biasanya ditambatkan pada tangga rumah, perahu juga merupakan satu-satunya
alat angkut di desa ini. Pada tahun 1926 ketika Torosiaje diresmikan menjadi
sebuah desa, waktu itu hanya berupa soppe-soppe
(perahu-perahu besartempat orang Bajo tinggal) dan orang Bajo baru saja
mulai berkelompok.
Dua puluh lima
tahun silam, Torosiaje hanya merupakan tempat singgah yang singkat bagi
orang-orang Bajo. Mereka berpindah-pindah tempatdi teluk Tomini dalam kelompok
lima sampai sepuluh soppe dan singgah
di pantai pulau-pulau yang ada disana.Orang Bajo masih melestarikan cara hidup
yang khas pada zaman soppe ini,yaitu
perahu kecil berukuran panjang delapan meter dan cukup tinggi.
BAB
II : Adat-Istiadat dan Kepercayaan
Peraturan adat
pernikahan pada orang Bajo yang mengajukan lamaran kepada orangtua tunangannnya
namun tetap ditolak walupun sudah memenuhi aturan adat, dapat melakukan ningkolo(duduk). Ningkolo yaitu seorang pemuda harus berusaha memasuki rumah
tunangannya dan duduk di lantai smbil berkata “Aku mau duduk”, kepada seluruh
anggota rumah yang menerimanya. Itu sudah cukup untuk secara otomatis
melangsungkan pernikahan tersebut. Namun perbuatan seperti ini akan mendapatkan
denda, kecuali pada bila hal ini terjadi pada hari raya Idul Fitri. Denda bagi ningkolo, dahulu berupa siksaan dengan
membenamkan diri di laut, yaitu harus masuk ke dalam air sampai batas ketiaknya
selama semalam penuh.
Selain itu juga
dapat dilakukan dengan sillayang (penculikan),
yang dilakukan pemuda pada tunangannya. Hal ini dilakukan dengan cara membawa
kabur tunangannya tersebut ke rumah salah satu pemangku adat atau ke desa lain.
BAB
III :
Rumah dan Perahu, Kehidupan di Atas Air
Rumah
orang Bajo yang tinggal di desa Torosiaje berada diatas air laut, lebih
tepatnya di pinggir laut yang menjorok masuk ke dalam air laut. Kamar mandinya
terbuat dari dua buah dinding penyekat yang ditempelkan pada sebuah sudut
dapur. Pada pagi hari, laut surut dan airpun mengalir menuju alun-alun dan laut
lepas dengan membawa segala macam sampah, kulit-kulit kupasan buah dan sayuran
serta juga kotoran dan tahi. Banyak lubang di lantai rumah sering menyebabkan
barang-barang terjatuh ke dalam air. Pada saat pasang surut, orang-orang dapat
mencari piring, gelas dan lain-lainnya, sebab barang-barang yang terjatuh itu
terapung atau terbenam di dalam pasir.
Perabotan
dalam rumah orang Bajo sangat sederhana. Kecuali beberapa keluarga kaya yang
memiliki meja, kadang-kadang kursi tamu, dan kadang-kadang juga sebuah lemari
kecil atau balai-balai dari papan, orang-orang Bajo sudah puas dengan
barang-barang yang dapat mereka pergunakan untuk menangkap dan memasak ikan
(kail, serampang, jala). Keadaan ekonomi dan kehidupan orang Bajo selalu
dihadapkan dengan ketidakpastian, dalam artian jika ada ikan, jika ada uang,
jika ada pedagang dari Papayato, jika pedagang dari Papayato itu membawa
buah-buahan, cabai, tembakau, kapur sirih….. Jika orang pergi menangkap ikan,
jika orang berhasil menangkapnya, dsb.
Orang
Bajo kadang-kadang terpaksa hidup terpencil, meskipun mereka akhirnya selalu
menemukan seorang pendayung yang berhenti di depan rumah mereka. Orang Bajo
yang hidup di perahu mereka, hamper tak pernah meninggalkannya. Beberapa perahu
yang ditambatkan pada sebuah tiang, ditempatkan di belakang sayap kiri desa
Torosiaje. Itu adalah tempat untuk berkumpul pada hari-hari raya Islam yang
menyangkut seluruh desa, dan pemilihan wakil-wakil rakyat, dsb.
BAB
IV :
Kehidupan Bermasyarakat
Hal
yang tak boleh terlupakan adalah bahwa orang Bajo terutama tinggal di
tengah-tengah lingkungan dunia air. Keterikatan orang Bajo dengan lingkungan
air ini,yang dapat diamati dan dipahami melalui adat-istiadat dan kepercayaan
mereka, mendapat dimensi yang sama sekalilain apabila hal itu berkenaan dengan
unsur yang membentuk lingkungan itu sendiri, yaitu air, boe. Air pasang melakukan pembersihan, sehingga, sehingga menjamin
lingkungan diperbarui dan dibasmi hamanya, tetapi segi buruknya adalah tidak
adanya air tawar.
Aspek
kehidupan ekonomi di desa ini, yang didukung oleh jarangnya barang dan bahan
makanan, semakin memperkuat sifat persediaan, konsumsi dan adanya makanan yang
berubah-ubah dan bergerak dalam ruang. Orang bajo mahir menangkap ikan. Tetapi
ketangkasan mereka dalam menggunakan alat-alat penangkapan ikan, dalam
bergerak, sangat cocok dengan kehidupan mereka yang berhemat dalam bahan
makanan sehingga memungkinkan mereka untuk menggunakannya dalam keadaan-keadaan
lainnya. Sebenarnya, desa ini bukan hanya bertahan hidup berkat produksi
setempat, tapi juga berkat persediaan yang datang dari luar, yaitu dari
Gorontalo melalui kapal-kapal kecil, dari desa-desa yang dekat dengan Papayato
melalui pedagang-pedagang yang datang dengan perahu, dari desa-desa Bajo
(Kendari, Bulano, Bumbulan, dll) atau desa-desa jauh lainnya berkat
pelaut-pelaut Bugis yang datang dengan sekoci.
BAB V : Ikiko
: Sejarah Orang Bajo, Potret Kehidupan Bajo
Penduduk
Desa Bajo mengadakan pidato dan pertemuan-pertemuan selama masa Pemilu. Orang
Bajo sangat percaya mengenai adanya pamali. Pamali adalah larangan yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan tertentu dalam situasi-situasi yang
berbeda. Kepercayaan orang Bajo dalam menangani penyakit, mereka meminta
pertolongan kepada dukun.
Batas-batas baru
berdasarkan nilai, timbul melalui hubungan dengan masyarakat yang mengikuti
aturan yang diketahui semua orang. Tindakan yang tidak diakui masyarakat akan
dikenakan sanksi. Aspek-aspek budaya bahkan sosial kehidupan orang Bajo tidak
berisi kewajiban-kewajiban dalam arti kata yang paling sempit. Tak ada jadwal
atau tanggal upacara tertentu dan tak ada sebuah kesepakatan pun yang
memprogram kegiatan-kegiatan tertentu.
Isi rumah dapat
menampung beberapa anggota keluarga inti, dan menjadi sebuah keluarga diperluas
yang terdiri atas ipar-ipar dan sepupu-sepupu. Orang Bajo membaginya menjadi
beberapa tingkatan hubungan keluarga. Orang Bajo tidak menyukai kekejaman,
dalam hubungan mereka sehari-hari.
Sistem
pengenalan orang Bajo disebabkan oleh penampilan luar, bahasa, cara mendayung,
seringnya berkunjung ke tempat-tempat tertentu, sifat malu, kesendirian dalam
menangkap ikan, dsb. Sebenarnya orang Bajo tak mempunyai ruang yang
dibudayakan. Mereka sama sekali tak tertarik pada tanah air atau Negara asal
mereka. Satu-satunya unsur budaya yang tetap dan pasti bagi individu Bajo
adalah orang Bajo lainnya yang merupakan satu-satunya “lingkungan” yang dapat
didekati untuk mencapai kebudayaannya sendiri.
BAB
VI : Ritual-Ritual Penyembuhan.
Guna-Guna
Orang Bajo
menetapkan musim datangnya penyakit (musim
peddi) dari November-Desember sampai Januari-Februari: ini merupakan periode
hujan dan suhu udara dapat tiba-tiba menjadi panas atau dingin. Orang Bajo
memiliki keterikatan pada praktik-praktik nenek moyang mereka dan kenggenan
mereka untuk minum obat.
Kehidupan orang
Bajo terpusat pada keampuhan pengungkapan, yaitu kata dan suara. Bagi
orang-orang Bajo, cara terbaik untuk menyikapi kerewelan setan adalah dengan
mengagungkannya.
BAB
VII : Individu dan Masyarakat
Saat pelaksanaan
Pemilu seluruh orang Bajo baik yang sudah berusia lanjut dan kakinya tak pernah
mau menginjak tanah menuju ke kotak suara. Semua orang memberikan suaranya.
Orang-orang Bajo cenderung berkomunikasi, mengobrol dan fasih berbicara. Dengan
demikian tak perlu bagi seorang Bajo untuk melihat lawan bicaranya ketika orang
mengajaknya berbicara.
Anak-anak belajar
berbicara tetapi juga berteriak. Bentuk bahasa tersebut sama pentingnya seperti
bahasa itu sendiri. Pembelajaran ini dilaksanakan berkat bantuan kemlompok
mereka.pengenalan dan peniruan mereka dilakukan secara otomatis.
BAB
VIII : Pamali dan Pelanggaran
Orang Bajo
sangat mempercayai adanya pamali. Setiap orang yang tidak menaati pamali maka
akan dianggap melakukan pelanggaran atau kesalahan. Maka, setan memukulnya
dengan serampangan. Setiap orang percaya terhadap alasan yang dikemukakan oleh
orang yang dituduh bersalah. Lalu kesalahan itu akan diartikan sendiri-sendiri
oleh orang lain.
BAB
IX : Upacara
Pada pagi hari
itu, terlihat adanya pembagian pekerjaan di antara orang-orang yang bekerja di
dalam dua ruangan, sebagian di serambi dan sebagian lagi di dapur. Hal ini
karena adanya pembagian upacara yaitu: upacara sunatan, upacara gunting rambut,
doa-doa empat puluh hari meninggalnya seorang saudara dan pesta pernikahan
anggota suatu keluarga.
Dalam upacara
pernikahan, ketika merundingkan tentang jumlah maskawin, kepala desa mewakili
pihak laki-laki. Demikian dengan pelaksanaan upacara sunatan, kepala adat lah
yang berperan penting dalam melaksanakan proses sunatan.
Perasaan hormat
kepada orang yang lebih tua sudah ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Orang
Bajo berusaha untuk tidak menodai kehormatan orang-orang yang lebih tua. Bagi
orang Bajo, apabila seorang laki-laki/perempuan menikah,mereka telah merampas
pasangannya dari mertuanya. Jadi ia harus menghormati mertuanya.
BAB X : Kehidupan Masyarakat Desa
Penangkapan
ikan duyung dan upacaranya, orang bajo telah lama tidak menemukan ikan duyung
bertahun-tahun. Hari ini mereka menemukan ikan duyung dan akan dibagikan kepada
semua masyarakat desa bajo. Ada teknik untuk menangkap ikan duyung yaitu dengan
memerhatikan ketajaman pendengaran binatang itu. orang-orang jongkok
mengelilingi ikan duyung tersebut. Salah satu diantara mereka memegang golok
dan memerhatikan duyung itu sambil menyentuh goloknya pada kulit binatang itu,
ia memberi beberapa tanda pada tubuhnya. Teman-temannya dengan menjulurkan
tangan mereka, pada gilirannya menunjukkan bagian mana yang akan dipotong.
Pembicaraan yang panjang lebar mengaur hal-hal kecil itu sehingga merupakan
upacara tersendiri.orang memotong-motong seekor ikan duyung menurut urutan
waktu yang dianjurkan oleh adat, jika tidak ia bisa dipissalah dan harus
membayar denda. Semua masyarakat bajo mengetahui ketentuan ini.
Adat
istiadat dalam orang bajo di desa Jaya Bakti, saat upacara Orang Bajo memakai
bendera ula-ula yang berbentuk manusia, tetapi juga menggunakan bendera lain,
lamme, yang berwarna-warni seperti ula-ula di Torosiaje. Kedua bendera ini
digunakan bersama-sama pada saat upacara misalnya pada upacara sunatan. Ula-ula
sudah ditancapkan sehari sebelumnya dipintu masuk rumah tempat upacara akan
diselenggarakan. Seperti bendera putih di Torosiaje, ula-ula ditancapkan untuk
mengusir penyakit menular. Arwah-arwah leluhur terdapat didalam ula-ula ini.
Duota yang memasukkan arwah-arwah leluhur itu kemudian membacakan doa-doa bagi
mereka. Dalam kesempatan ini semua sandro dan dukun berkumpul. Semua sesaji
yang disiapkan kemudia ditaruh dalam sebuah perahu layar kecil dengan diberi
bendera putih. Penduduk diluar desa berhak mengambil makanan yang ada didalam
perahu tersebut tetapi penduduk yang ada didalam tidak boleh mengambilnya
karena kalau tidak penyakit tersebut akan terjangkit kembali.
BAB
XI : Noana dan Kappunang
Upacara
noana kappunang itu mencangkup sajen yang dibuat untuk setan laut sebab “ia
bisa marah kaalu tidak menerima bagiannya dan ia dapat memperpanjang masa
sakitnya dan menahan sumanganya. Kepercayaan Bajo secara halus mencari
keseimbangan, keredaan dan ketegangan. Berkat logika tadi yang sesuai dengan
dunia manusia. Jadi, sajen itu mungkin manjur. Bukan kebetulan jika dukun
memberikan sajen kepada setan darat (Noana). Apakah mereka bisa memberikan
sajen tanpa membuka percakapan dengan setan? Tentu tidak, orang bajo tidak
memahaminya demikian. Percakapan itu perlu diadakan meskipun dengan kekuatan jahat.
Ialah yang menahan sungawa (jiwa). Untuk tujuan itulah si sakit menyiapkan
talam berisi sebuah keris yang dibungkus dengan kain putih sebuah payung dan
lima sen rupiah. Mbo me mengambil sajen untuk setan darat. Ia menjatuhkan
beberapa potong kemenyan pada bara api lalu memutar-mutarkan sajen diatas asap
keputihan dan di atas kepala yang sakit sambil menggumamkan mantra.
BAB
XII : Peraturan-Peraturan
Dalam
masyarakat bajo, arah timur sebuah larangan yang tak biasa. Dalam masyarakat
bajo tidak mengenal arah timur, mereka menyebut dengan arah selatan. Tidak ada
kata timur dalam bahassa bajo, mereka tidak boleh mengucapkannya karena
dilarang. Istilah ini tidak digunakan oleh orang bajo. Mereka tak pernah pergi
ke arah tersebut. Secara emplisit mereka menyangkal arah timur. Tetapi arti dan
asal-usul hal yang dilarang itu juga dipatuhi seperti larangan itu sendiri.
Sudah barang tentu tidak ada hukuman yang akan menghancurkan mereka pada saat
mereka mengucapkan kata timur, tetapi mungkin lama-lama mereka akan merasa
terancam oleh beberapa musibah jahat sebagai pembalas dendam.
Semua
itu dimantapkan oleh hubungan orang bajo dengan saudara kembarnya, tamuni
(ari-ari) yang dibuang kelaut. Bagi orang bajo, masyarakat bajo berasal dari
laut, semangat hidup mereka berasal dar ari-ari dan sejak saat itu boleh
dikatakan hampir sama saja (laut merupakan tempat ari-ari). Hubungan orang bajo
dengan ari-ari dikenal dan dialami oleh semuanya bahkan oleh anak-anak.
Hubungan ini tidak mengistimewakan siapapun juga. Tujuan orang bajo adalah
memelihara persekutuan ini, “orang membuang ari-ari kelaut agar ia melancarkan
hubungan orang bajo dengan laut, agar si anak berenang dengan baik ketika ia
muda, dan agar dikemudian hari mereka mengikuti orang tuanya ke laut.
Yang
terpenting dalam orang bajo adalah bahwa dukun memainkan perubahan yang
terjadi. Orang bajo ingin merasakan, mendengarkan dan melihat adat istiadat mereka dimantapkan.
Pertunjukan itu merupakan cara mereka untuk mencapai tujuan tersebut. Hal itu
penting bagi mereka. Mereka datang untuk menghargai cara dukun itu “menjalankan
perannya” dan untuk mendengarkan setan mengingatkan mereka bahwa mereka harus
menghormatinya. Pada akhirnya pertunjukan ini sebagian merupakan alasan yang
secara sosial telah disepakati orang bajo untuk melestarikan kepercayaan mereka
dan menguatkan komunikasi mereka. Kepala adat melambangkan kedudukan ini dengan
baik. Baginya adat adalah yang paling terpenting, yang paling utama. Setan itu
terutama berada didalam manusia, oleh sebab itu orang harus menguasai empat
unsur yang membentuknya yaitu angin,air, api dan tanah.
BAB
XIII : Dunia Bajo dan Dunia Setan
Suatu
hal yang rupanya sudah nyata adalah bahwa istilah setan yang diperkenalkan oleh
islam telah digunakan orang bajo untuk menyebut kekuatan si jahat. Padahal
dahulu orang bajo berpendapat bahwa semua hal yang jahat dan berbahaya tidak
selalu berasal dari satu kekuatan saja. Dalam hal ini jika orang bajo
menggunakan kata setan, mungkin hal ini mengenai roh jahat tertentu yang
berbeda dengan lainnya yang tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Jadi kata
setan digunakan untuk basa-basi saja dan tidak mempunyai arti dan fungsi
apa-apa. Orang bajo melihat tanda setan dari gejala dan kekuatan alam. Dari
sini mereka merancang ide tentang penyakit itu dan memberi penjelasan tentang
gejala dan kekuatan alam ini. Tak ada yang dirahasiakan, tak ada kekaburan.
Animisme bajo sangat mudah menyesuaikan diri terhadap ide suatu kekuatan maha
tinggi yang mempunyai kuasa untuk mengambil bentuk apa pun yang diinginkannya.
Orang bajo mengenali kemiripan setan dengan manusia.
BAB
XIV : Rahasia Terakhir Negeri
Antah-Berantah
Dahulu
hubungan orang bajo dengan setan terjalin dengan baik. Setan dan manusia
serupa. Manusia hidup kekal dan semua orang adalah duota. Tetapi orang juga
tidak dapat menjalin hubungan baik dengan setan, juga tidak dapat mematuhi
aturan-aturannya. Sejak saat itulah setan dapat berbuat jahat. Jika seseorang
tidak menaati peraturan itu maka kejahatan akan datang. Orang harus
berhati-hati menjaga perasaan setan dan memberinya sajen. Dalam hal ini bentuk
perdukunan bajo memiliki keistimewaan karena para duota diduga sekaligus dapat
menjadi,pertama-tama dungkoka yang mewujudkan setan lalu orang bajo seperti
yang hidup pada jaman dahulu kala dan akhirnya identitas orang bajo mitologis
ini “yang pulang ke alamnya” dan juga makhluk yang diwujudkan oleh dungkoka
pada saat pertunjukan duota.
Pandangan bajo pada saat itu yaitu
tentang identitas dewa, pengertian tentang roh halus, nenek moyang, hal-hal
yang suci dan jiwa. Pada orang bajo terdapat kumpulan dewa-dewa tanpa nama yang
tidak mempunyai pembagian, tempat atau fungsi yang jelas. Kumpulan ini
merupakan kosmologi yang tak tampak perbedaannya dan termasuk dunia manusia
namun juga sekaligus khas. Orang bajo dan dukun-dukun tidak memahaminya diluar
atau didalam dunia orang-orang hidup.
Orang bajo adalah saksi-saksi dan
orang-orang yang selamat dari gelombang air pasang yang benar-benar pernah
terjadi. Setan (yang lalu dipanggil papu dan hanya dianggap sebagai roh halus)
dianggap bertanggung jawab atas bencana itu, atas hukuman itu. peristiwa itu
mengakhiri hubungan yang sebelumnya terjalin dengannya. Hubungan lain dimulai
dan dikuasai oleh ketakutan yang untuk selanjutnya dilambangkan oleh setan.
Manusia dan setan lalu dapat dibedakan. Sejak saat itu ssetan membuat penyakit.
Ia menjadi kekuatan diluar manusia.
RESUME
BUKU
ORANG BAJO “Suku Pengembara Laut”
ORANG BAJO “Suku Pengembara Laut”
UNTUK MEMNUHI TUGAS MATA KULIAH
Studi Masyarakat Indonesia
Yang di bina oleh Bapak I Dewa Putu
Eskasasnanda, S.Ant, M.A
Oleh :
Chilma Alawiyah 120741421192
Finda Eka Yulviana 120741421179
Iin Roifatul Zanah 120741421212
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar