Sabtu, 21 November 2015

RESUME BUKU CAROK KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA



RESUME BUKU CAROK KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA 

PENDIDIKAN IPS FIS UM 2012


BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya, orang luar Madura cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang Madura sebagai carok. Padahal, dalam kenyataannya tidaklah demikian. Carok selalu dilakukan oleh sesama laki-laki dalam lingkungan orang-orang desa. Mereka tidak pernah menyebut istilah pembunuh bagi pelaku carok yang berhasil membunuh lawannya. Tindakan kekerasan yang disebut carok ini selalu memberikan kesan menakutkan pada orang luar Madura. Kesan ini , khususnya oleh banyak ilmuwan sosial, cenderung dipakai sebagai salah satu alasan tidak mau mengadakan penelitian di Madura.
BAB II
KONDISI-KONDISI SOSIAL BUDAYA MADURA
A.                Letak dan Keadaan Alam
Pulau Madura yang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep terletak di timur laut pulau Jawa dengan koordinat 7˚ LS dan antara 112˚ BT - 114˚ BT. Panjang pulau Madura kurang elbih 190km dan luas keseluruhan adalah 5.304 km2 . Iklim di Madura terbagi menjadi 2 musim, yaitu musim barat (nembara’) atau musim penghujan dan musim timur (nemor) atau musim kemarau. Suhu udara ketika musim hujan berkisar 28˚C dan pada musim kemarau rata-rata 35˚C. Oleh karena itu, ketika musim kemarau tiba, udara di seluruh Madura menjadi sangat panas dan sumber-sumber air menjadi kering. Air pada saat musim kemarau menjadi barang rebutan dan beberapa peristiwa carok yang berlatar belakang masalah rebutan air pun terjadidi kabupaten Sumenep dan Pamekasan.
B. Penduduk dan Mata Pencaharian
Sekitar 70% - 80% dari pendudukMadura masih bergantung pada kegiatan-kegiatan agraris. Aktivitas menanam padi hanya dapat dilakukan pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau lahan-lahan pertanian biasanya ditanami ketela pohon, kacang-kacangan, kedelai dan umbi-umbian.
C. Pola Pemukiman
Di kawasan pedesaan Madura banyak ditemui pemukiman yang disebut kampong meji, yaitu kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi. Jarak antara satu pemukiman penduduk desa dengan pemukiman yang lain sekitar satu sampai dua kilometer. Ada pula pola pemukiman taneyan lanjang, yang hanya dibangun oleh keluarga yang memiliki anak perempuan.
D. Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial masyarakat Madura meliputi 3 lapisan, yaitu:
              Orang kene’ atau orang dume’ sebagai lapisan terbawah
              Ponggaba sebagai lapisan menengah
              Parjaji sebagai lapisan paling atas
Jika dilihat dari dimensi agama terdiri dari 2 lapisan, yaitu:
              Santre (santri)
              Banne santre (bukan santri)
Tingkatan bahasa dalam bahsa Madura ada 5, yaitu:
              Bahasa keraton
              Bahasa tinggi
              Bahasa halus
              Bahasa menengah
              Bahasa kasar


E. Sistem Kekerabatan
Dalam konsep kekerabatan orang Madura, hubungan persaudaraan mencakup  4 generasi ke atas dan ke bawah dari ego. Generasi paling atas disebut garubuk, sedangkan generasi paling bawah disebut kareppek.
F. Bala dan Moso
Dalam kehidupan masyarakat Madura dikenal adanya bentuk relasi sosial yang biasa disebut teman (bala,kanca) dan musuh (moso). Teman merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling tinggi, sebaliknya musuh merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban paling rendah. Dalam konteks ini, peristiwa carok pada dasarnya merupakan relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah, karena disominasi secara oleh rasa permusuhan.
G. Tradisi Remo
Remo adalah semacam pesta yang menyajikan hiburan sandur Madura dengan jumlah tamu undangan yang banyak. Penyelenggaraan remo mirip dengan arisan, yaitu setiap peserta yang hadir harus menyerahkan sejumlah uang kepada penyelenggara. Sebaliknya, penyelenggara mempunyai kewajiban yang sama kepada para tamunya jika mreka menyelenggrakan remo.  Syarat untuk dapat menjadi anggota remo yang utama adalah mempunyai kemampuan secara ekonomi dan bertanggung jawab. Pada peristiwa remo, potensi konflik biasanya terjadi ketika acara tarian berlangsung. Seorang anggota remo memilih sebuah bentuk atau jenis tarian. Jika bentuk atau jenis tarian yang dipilih sama dengan yang dilakukan orang lain, maka muncullah perasaan terhina pada orang yg memilih jenis tarian itu sebelumnya. Konflik pun terjadi dan cara penyelesaiannya adalah carok.




BAB III
KASUS-KASUS CAROK DAN MOTIFNYA
A.                Kasus-Kasus Carok Bermotif Gangguan terhadap Istri
1.                  Cemburu Membawa Mati
Di suatu petang menjelang matahari terbenam atau tepatnya sekitar pukul 17.30 WIB hari Kamis, ketika orang-orang di desa Rombut sedang menunggu saat berbuka puasa, terjadilah peristiwa carok antara Mat Tiken (45) dengan dua orang yang masih saudara sepupu, yaitu Kamaluddin (32) dan Mokarram (38). Permasalahan yang melatarbelakangi peristiwa carok ini adalah tindakan Mat Tiken yang diketahui telah menjalin hubungan cinta dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Karena Mat Tiken termasuk orang jagoan, maka carok ini berakhir dengan tewasnya Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok di sekujur tubuh mereka, terutama di bagian perut. Mat Tiken dikenai hukuman penjara empat tahun,  dipotong masa tahanan. Mat Tiken didakwa telah melanggar pasal 340 sub-sider 338 KUHP.
2.                  Cemburu dan Persaingan Bisnis
Pada suatu hari sekitar pukul 18.30 WIB, beberapa tahun sebelum kegiatan penelitian dilakukan, telah terjadi peristiwa carok antara Iksan (48) dan adik kandungnya, Matmuni (46), melawan Mattasan (45). Peristiwa carok ini terjadi di suatu jalan umum desa Mongkoneng. Latar belakang peristiwa carok ini adalah persaingan bisnis dan perasaan cemburu. Persaingan bisnis terjadi antara Iksan dengan Mattasan lebih dahulu muncul baru kemudian disusul oleh timbulnya perasaan cemburu pada diri Matmuni, karena Mattasan diketahui telah mengganggu atau menggoda istrinya, Haliyah (29). Mattasan terbunuh seketika itu juga di tempat kejadian dalam keadaan yang sangat mengenaskan karena diserang dengan cara nyelep, sedangkan Iksan dan Matmuni sama sekali tidak mengalami luka. Iksan terbebas dari segala tuduhan carok, sebab sejak awal penyidikan, Matmuni yang mengaku sebagai pelaku tunggal. Semuanya bisa terjadi karena, pertama, Iksan berusaha mencegah setiap orang yang dapat menjadi saksi tentang kejadian yang sebenarnya dengan cara mengancam akan membunuhnya. Kedua, Iksan ketika itu melakukan upaya nabang dengan mengeluarkan uang sekitar Rp 15.000.000.
3.                  Cemburu pada Tetangga
Pada hari Minggu pagi sekitar pukul 06.30 WIB, di suatu jalan desa Mandangin terlah terjadi carok antara Bunawi (28) dengan Dahlan (32) yang berakhir dengan tewasnya Dahlan di tempat kejadian. Dalam peristiwa carok ini, Bunawi menyerang dengan cara nyelep menggunakan are’ takabuwan. Bacokan-bacokan yang dilancarkan oleh Bunawi langsung mengenai mulut, pinggang sebelah kanan, serta perut, sehingga usus besar korban terburai keluar. Dahlan pun tewas seketika di tempat kejadian carok. Latar belakang permasalahan yang menjadi faktor pemicu terjadinya peristiwa carok ini adalah Bunawi merasa cemburu dan marah kepada Dahlan. Menurut Bunawi, Dahlan dianggap telah terbukti berselingkuh dengan istrinya, Masniyati (25). Bagi Bunawi, perilaku Dahlan adalah penghinaan terhadap martabat dirinya sebagai seorang suami. Bahkan dia menganggap perbuatan Dahlan sebagai tindakan arosak atoran (merusak aturan).
B.                 Kasus-Kasus Carok Bermotif selain Gangguan terhadap Istri
1.                  Mempertahankan Martabat
Tepat pada Kamis malam sekitar pukul 19.00 WIB, Aliwafa (22) terlibat carok dengan Sumahwi (24). Kejadiannya di suatu jalan umum di kota kecil kawedanan Billapora, yang masih termasuk dalam wilayah kabupaten Bangkalan. Keduanya adalah pemuda lajang yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penarik becak. Dengan cara nyelep, Aliwafa membunuh Sumahwiyang sebelumnya menuduh Aliwafa sebagai pencuri cincin. Akibat perbuatannya membunuh Sumahwi, Aliwafa dipidana dengan hukuman selama lima tahun. Bagi Aliwafa, makna tewasnya Sumahwi itu adalah sebagai pembalasan yang setimpal bagi Sumahwi atas tindakannya yang telah mempermalukan dirinya sekaligus telah melecehkan harga dirinya.




2.                  Merebut Harta Warisan
Pada hari Sabtu siang sekitar pukul 12.15 WIB, telah terjadi peristiwa carok antara Sulaiman (40) dengan Sami’an (50) di halaman sebuah pasar kecamatan Kampar yang berakhir dengan kematian Sami’an. Kedua orang pelaku carok ini adalah satu keluarga dan termasuk dalam kategori kerabat inti. Dalam lingkungan keluarga mereka, Sulaiman adalah keponakan dari Sami’an, sebab ibu Sulaiman, bernama Halimah (60), adalah kakak kandung Sami’an. Pemicu carok ini adalah masalah ketidakadilan dalam hal penguasaan harta warisan.
Pada suatu ketika, Sami’an menderita kerugian uang sebesar lebih dari Rp2.000.000,00 akibat tiga ekor sapinya hilang dicuri orang beberapa hari sebelum dibawa ke pasar hewan. Untuk menutupi kerugian ini, Sami’an menggadaikan secara sepihak lahan pertanian milik kakaknya, Halimah, kepada orang lain. Peristiwa perampasan secara sepihak lahan milik ibu Sulaiman itu dianggap sebagai pelecehan terhadap orang tuanya dan peristiwa carok pun tak terelakkan lagi.
3.                  Membalas Dendam Kakak Kandung
Pada suatu dini hari Rabu atau sekitar pukul 01.00 WIB , telah terjadi peristiwa carok yang melibatkan Tawil (21) dan Abidin (29), yang keduanya sama-sama penduduk desa Pecorah. Aakibat bacokan celurit oleh Tawil, Abidin menderita luka-luka parah pada kepala baguan atas kiri, leher sebelah kiri, bahu sebelah kanan sehingga tewas seketika itu juga. Peristiwa carok ini disaksikan sendiri oleh Sutinah (25), istri korban yang ketika kejadian berlangsung sedang tidur bersama suaminya di sebuah balai-balai pada ruangan bagian belakang rumahnya yang berdekatan dengan kandang kerbau. Latar belakangnya adalah perasaan dendam Tawil kepada Abidin, karena Abidin telah membunuh Samanhuri (27), kakak kandungnya, sekitar empat tahun sebelumnya. Tawil divonis hukuman penjara selama delapan tahun.



BAB IV
MAKNA DAN KONTEKS SOSIAL BUDAYA CAROK
A.                Pengertian Carok
Orang Madura yang merasa malo karena dilecehkan harga dirinya kemudian melakukan carok, disebut sebagai pelaku carok. Tapi ketika carok benar-benar terjadi, yang dimaksud dengan pelaku carok adalah kedua belah pihak, baik pihak yang merasa harga dirinya dilecehkan maupun pihak yang dianggap melakukan pelecehan itu.  Apabila seorang laki-laki yang dilecehkan harga dirinya, tetapi kemudian tidak berani melakukan carok, orang Madura akan mencemoohnya sebagai tidak laki-laki. Bahkan beberapa informan justru menyebutnya sebagai bukan orang Madura. Jadi, orang Madura melakukan carok, bukan karena semata-mata tidak mau dianggap sebagai penakut meskipun sebenarnya takut mati tapi juga agar tetap dianggap sebagai orang Madura. Carok berarti salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan identitas etnisnya. Itu semua semakin memperkuat anggapan bahwa carok bukan tindakan kekerasan pada umumnya, tetapi tindakan yang syarat dengan makna-makna sosial budaya sehingga harus dipahami sesuai dengan konteksnya.
Institusi kepolisian tidak lagi berperan sebagai pengayom masyarakat, melainkan justru ikut membantu atau mendorong terjadinya carok. Menurut KUHP, pelaku carok diancam sanksi pidana berupa hukuman penjara maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun. Tapi ancaman sanksi hukum ini dalam praktiknya cenderung tidak diterapkan secara konsisten, bahkan terkesan sangat ringan, karena pelaku carok biasanya hanya menjalani hukuman penjara tidak lebih dari sepuluh tahun. Bahkan hukuman penjara ini semakin ringan apabila para pelaku carok melakukan upaya nabang.
B.                 Persiapan dan Prasayarat Carok
Carok dengan cara nyelep memerlukan lebih banyak waktu daripada carok yang dilakukan dengan cara bertahap-tahap karena harus dipersiapkan lebih cermat. Hal-hal yang harus dipelajari terutama waktu-waktu kapan musuhnya itu keluar rumah, kemana tujuannya, jalan desa mana yang biasa dilewatinya, dan hal-hal lain yang diperkirakan dapat dipakai sebagai indikator tentang musuhnya, sehingga ketika diserang nanti benar-benar dalam keadaan lengah. Karena rencana pelaksanaan carok (baik yang dilakukan dengan cara ngonggai atau nyelep) biasanya sudah dimatangkan dalam sidang keluarga. Seseorang yang akan melakukan carok harus mempersiapkan dirinya secara fisik maupun mental yang dapat berupa penguasaan teknik-teknik bela diri. Seseorang yang akan melakukan carok, tidak semata-mata harus mengandalkan kekuatan fisik, tapi harus juga memiliki kekuatan yang diperoleh secara nonfisik (supranatural) dengan bantuan kiai atau dukun untuk melakukan proses “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok.
Orang yang melakukan carok memerlukan banyak dana, bagi pihak yang menang maupun pihak yang kalah. Dana itu sangat diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan bagi pelaku carok yang terbunuh. Kebutuhan dana untuk pemenang carok biasanya selalu lebih besar daripada yang kalah (terbunuh). Selain untuk nabang, dana tersebut diperlukan untuk membiayaikebutuhan hidup keluaraga yang ditinggalkan selama yang bersangkutan menjalani hukuman penjara. Bagi pelaku carok yang kebetulanmenjadi anggota remo, yang bersangkutan dapat mengadakan remo yang disebut remo carok.
C.                Pelaksanaan Carok
Incaran atau sasaranutama dalam carok balasan adalah orang yang menang dalam carok sebelumnya, sasaran berikutnya adalah kerabat dekatnya, terutama orang tua, karena dianggap sebagai representasi dari diri musuhnya. Carok yang permasalahannya dilatarbelakangi oleh gangguan terhadap perempuan (istri), menurut pandangan orang Madura, harus dilaksanakan sesegera mungkin, tidak boleh lebih dari 40 hari sejak permasalahnnya diketahui (oleh pihak suami atau keluarga yang lainnya). Jika lebih dari jangka waktu itu, orang Madura akan menilainya sebagai baruy (basi). Carok yang berlatar belakang masalah-masalah selain perempuan (gangguan terhadap istri) waktu pelaksanaannya tidak dibatasi dalam jangka waktu tertentu.

Mengenai waktu pelaksanaan carok, tidak ada ketentuan ataukesepakatan, apakah harus dilakukan pada waktu pagi, siang, sore, atau malam hari. Yang penting bagi pelaku carok, ketika carok dilakukan, diusahakan agar tidak diketahui oleh orang lain, atau setidak-tidaknya meminimalisasi sanksi-sanksi. Alat atau senjata tajam yang diperlukan ketika carok terdiri dari berbagai jenis, mulai yang berbentuk panjang (pedang, tombak, pisau dan sejenisnya) sampai yang berbentuk melengkung (celurit, calok, sekken, dan sejenisnya). Dalam praktiknya, senjata tajam jenis celurit (jenis are’ takabuwan) yang paling lazim dipergunakan.
D.                Pascacarok
Setelah peristiwa carok, ada kalanya jrangkong atau din-dadin arwah pelaku carok terus muncul hingga melebihi jangka waktu 40 hari. Pada saat ini, jrangkong yang semula berupa suara-suara atau bayang-bayang berubah menjadi baung (berbentuk seekor binatang berbulu hitam dengan mata seolah-olah bersinar dan menyorot tajamyang ukurannya kira-kira sebesar kambing), dimaknai bahwa almarhum sangat menderita dia lam baka karena tidak diterima oleh Tuhan. Selama orang Madura tetap memaknai carok sebagai suatu proses pelampiasan kepuasan dan kebanggaan, bahkan dendam, kemudian mewujudkannya dalam simbol-simbol berupa benda-benda yang erat kaitannya dengan peristiwa carok itu sendiri, maka selama itu pula orang Madura tidak akan pernah terlepas dari tindakan kekerasan dalam upaya mencari penyelesaian konflik yang bersumber pada pelecehan harga diri. Pelaku carok yang menang langsung melaporkan diri ke kantor polisi, untuk selanjutnya ditahan guna kepentingan proses penyidikan tenyang peristiwa yang carok yang dilakukan. Apabila yang bersangkutan memang telah mempunyai rencana untuk nabang, maka sejak itu pula proses upaya nabang dimulai.
Proses nabang mempunyai beberapa tahapan. Pertama, yang berkepentingan menghubungi seorang calo. Kedua, proses tawar-menawar tentang berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pelaku carok. Jika pada akhir carok situasinya menunjukkan korban dalam keadaan mati seketika di tempat kejadian, biasanya tarifnya lebih murah, sebab tidak ada atau sedikit kesempatan bagi korban menceritakan kejadianyang sebenarnya kepada penyidik. Tarif untuk korban yang masih hidup biasanya ditentukan sekitar Rp 5.000.000, sedangkan untuk korban mati lebih rendah, yaitu sekitar Rp 3.000.000,00. Keberhasilan dalam upaya nabang merupakan kebanggaan tersendiri. Terlepas dari apapun tujuannya, upaya nabang merupakan suatu proses mentransfer carok dari pelanggaran hukum menjadi suatu bentuk komoditas. Upaya nabang merupakan proses toleransi terhadap terus berlangsungnya carok yang menurut hukum formal, termasuk tindakan kriminalitas berbentuk kekerasan (pembunuhan). Padahal, seharusnya melalui kekuatan hukum formal tindakan kekerasan ini bisa diminimalisasi. Proses tersebut akan cenderung terus berlangsung jika para pelaku carok selalu memaknai keberhasilan dalam upaya nabang sebagai cara lain untuk mempertegas predikat dan kapasitas kejagoannya.
E.                 Respon Masyarakat
Tanggapan pihak keluarga pelaku carok yang menang pada umunya membenarkan carok itu dilakukan, dan justru kemenangannya membanggakan mereka. Berbeda dengan keluarga pemenang carok, semua keluarga korban carok menaruh perasaan dendam kepada orang yang sudah membunuh anggota keluarganya. Mengenai tanggapan masyarakat terhadap carok, pada umumnya mereka tidak menyalahkan para pelakunya membunuh lawan-lawannya. Ada beberapa bentuk dukungan dan persetujuan masyarakat terhadap carok, antara lain dalam bentuk sindir-sindiran sinis bila seseorang tidak melakukan carok, antusiasme kanca remo menghadiri penyelenggaraan remo carok, pemberian predikat sebagai orang jago bagi pelaku carok yang menang, serta kunjungan-kunjungan rutin kepada pelaku carok selama menjalani hukuman penjara.
Tanggapan negatif terhadap carok sebenarnya juga ada pada orang Madura yang bertugas sebagai tenaga paramedis. Menurutpengakuan beberapa tenaga paramedis tersebut, jika kebetulan sedang menangani korban-korban carok, mereka tidak pernah melakukan pembiusan pada diri pelaku carok ketika luka-luka parah yang dideritanya harus dijahit atau dioperasi. Selain itu, cara menjahit luka-luka tersebut dilakukan dengan sembarangan, sehingga para pelaku carok selalu berteriak-teriak kesakitan selama pengobatan berlangsung. Semua ini dimaksudkan agar para pelaku carok menjadi jera dan tidak akan melakukan carok lagi.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Carok merupakan kekurangmampuan sebagian masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang yang dianggap musuh,sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok oleh sebagian pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang jago dalam komunitas lingkungannya. Keberhasilan para pemenang carok dalam upaya nabang justru semakin memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai orang jago.
Berdasarkan bebrapa kesimpulan di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa rekomendasi dalam upaya meredam terjadinya carok di kemudian hari di masyarakat Madura. Pertama, perlu upaya revitalisasi untuk menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara. Kedua, perlu adanya penyadaran pada masyarakat Madura pelaku carok. Ketiga, perlu dilakukan refleksi untuk menata kembali pendistribusian kekuasaan secara lebih merata dan proporsional antara laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan Madura. Keempat, perlu disadarkan bahwa carok bukan merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh kekuasaan atau meraih posisi status sosial yang lebih tinggi. Kelima, perlu segera dihilangkan kebiasaan melakukan upaya nabang. Keenam, para keluarga korban carok perlu pula mulai disadarkan agar menghilangkan kebiasaan menyimpan segala benda yang pernah digunakan ketika melakukan carok.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar