RESUME BUKU CAROK KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA
DIRI ORANG MADURA
PENDIDIKAN IPS FIS UM 2012
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Pada umumnya, orang luar
Madura cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang
Madura sebagai carok. Padahal, dalam kenyataannya tidaklah demikian. Carok
selalu dilakukan oleh sesama laki-laki dalam lingkungan orang-orang desa.
Mereka tidak pernah menyebut istilah pembunuh bagi pelaku carok yang berhasil
membunuh lawannya. Tindakan kekerasan yang disebut carok ini selalu memberikan
kesan menakutkan pada orang luar Madura. Kesan ini , khususnya oleh banyak
ilmuwan sosial, cenderung dipakai sebagai salah satu alasan tidak mau
mengadakan penelitian di Madura.
BAB II
KONDISI-KONDISI SOSIAL BUDAYA MADURA
KONDISI-KONDISI SOSIAL BUDAYA MADURA
A.
Letak dan Keadaan Alam
Pulau Madura yang terdiri
dari 4 kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep terletak di
timur laut pulau Jawa dengan koordinat 7˚ LS dan antara 112˚ BT - 114˚ BT.
Panjang pulau Madura kurang elbih 190km dan luas keseluruhan adalah 5.304 km2
. Iklim di Madura terbagi menjadi 2 musim, yaitu musim barat (nembara’)
atau musim penghujan dan musim timur (nemor) atau musim kemarau. Suhu
udara ketika musim hujan berkisar 28˚C dan pada musim kemarau rata-rata 35˚C.
Oleh karena itu, ketika musim kemarau tiba, udara di seluruh Madura menjadi
sangat panas dan sumber-sumber air menjadi kering. Air pada saat musim kemarau
menjadi barang rebutan dan beberapa peristiwa carok yang berlatar belakang
masalah rebutan air pun terjadidi kabupaten Sumenep dan Pamekasan.
B. Penduduk dan Mata
Pencaharian
Sekitar 70% - 80% dari
pendudukMadura masih bergantung pada kegiatan-kegiatan agraris. Aktivitas
menanam padi hanya dapat dilakukan pada musim penghujan, sedangkan pada musim
kemarau lahan-lahan pertanian biasanya ditanami ketela pohon, kacang-kacangan, kedelai
dan umbi-umbian.
C. Pola Pemukiman
Di kawasan pedesaan Madura
banyak ditemui pemukiman yang disebut kampong meji, yaitu
kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama
lain saling terisolasi. Jarak antara satu pemukiman penduduk desa dengan
pemukiman yang lain sekitar satu sampai dua kilometer. Ada pula pola pemukiman taneyan
lanjang, yang hanya dibangun oleh keluarga yang memiliki anak perempuan.
D. Stratifikasi Sosial dan
Tingkatan Bahasa
Stratifikasi sosial atau pelapisan
sosial masyarakat Madura meliputi 3 lapisan, yaitu:
•
Orang kene’ atau orang dume’ sebagai lapisan
terbawah
•
Ponggaba sebagai lapisan menengah
•
Parjaji sebagai lapisan paling atas
Jika dilihat dari dimensi
agama terdiri dari 2 lapisan, yaitu:
•
Santre (santri)
•
Banne santre (bukan santri)
Tingkatan bahasa dalam bahsa
Madura ada 5, yaitu:
•
Bahasa keraton
•
Bahasa tinggi
•
Bahasa halus
•
Bahasa menengah
•
Bahasa kasar
E. Sistem Kekerabatan
Dalam konsep kekerabatan
orang Madura, hubungan persaudaraan mencakup
4 generasi ke atas dan ke bawah dari ego. Generasi paling atas disebut garubuk,
sedangkan generasi paling bawah disebut kareppek.
F. Bala dan Moso
Dalam kehidupan masyarakat
Madura dikenal adanya bentuk relasi sosial yang biasa disebut teman (bala,kanca)
dan musuh (moso). Teman merupakan relasi sosial dengan tingkat keakraban
paling tinggi, sebaliknya musuh merupakan relasi sosial dengan tingkat
keakraban paling rendah. Dalam konteks ini, peristiwa carok pada dasarnya
merupakan relasi sosial yang tingkat keakrabannya sangat rendah, karena
disominasi secara oleh rasa permusuhan.
G. Tradisi Remo
Remo adalah semacam pesta yang
menyajikan hiburan sandur Madura dengan jumlah tamu undangan yang
banyak. Penyelenggaraan remo mirip dengan arisan, yaitu setiap peserta
yang hadir harus menyerahkan sejumlah uang kepada penyelenggara. Sebaliknya,
penyelenggara mempunyai kewajiban yang sama kepada para tamunya jika mreka
menyelenggrakan remo. Syarat
untuk dapat menjadi anggota remo yang utama adalah mempunyai kemampuan secara
ekonomi dan bertanggung jawab. Pada peristiwa remo, potensi konflik
biasanya terjadi ketika acara tarian berlangsung. Seorang anggota remo memilih
sebuah bentuk atau jenis tarian. Jika bentuk atau jenis tarian yang dipilih
sama dengan yang dilakukan orang lain, maka muncullah perasaan terhina pada
orang yg memilih jenis tarian itu sebelumnya. Konflik pun terjadi dan cara
penyelesaiannya adalah carok.
BAB
III
KASUS-KASUS
CAROK DAN MOTIFNYA
A.
Kasus-Kasus Carok Bermotif
Gangguan terhadap Istri
1.
Cemburu Membawa Mati
Di suatu petang menjelang
matahari terbenam atau tepatnya sekitar pukul 17.30 WIB hari Kamis, ketika
orang-orang di desa Rombut sedang menunggu saat berbuka puasa, terjadilah
peristiwa carok antara Mat Tiken (45) dengan dua orang yang masih saudara
sepupu, yaitu Kamaluddin (32) dan Mokarram (38). Permasalahan yang
melatarbelakangi peristiwa carok ini adalah tindakan Mat Tiken yang diketahui
telah menjalin hubungan cinta dengan Sutiyani (25), istri Kamaluddin. Karena
Mat Tiken termasuk orang jagoan, maka carok ini berakhir dengan tewasnya
Kamaluddin dan Mokarram di tempat kejadian dengan sejumlah luka bacok di
sekujur tubuh mereka, terutama di bagian perut. Mat Tiken dikenai hukuman
penjara empat tahun, dipotong masa
tahanan. Mat Tiken didakwa telah melanggar pasal 340 sub-sider 338 KUHP.
2.
Cemburu dan Persaingan Bisnis
Pada suatu hari sekitar pukul 18.30 WIB,
beberapa tahun sebelum kegiatan penelitian dilakukan, telah terjadi peristiwa
carok antara Iksan (48) dan adik kandungnya, Matmuni (46), melawan Mattasan
(45). Peristiwa carok ini terjadi di suatu jalan umum desa Mongkoneng. Latar
belakang peristiwa carok ini adalah persaingan bisnis dan perasaan cemburu. Persaingan
bisnis terjadi antara Iksan dengan Mattasan lebih dahulu muncul baru kemudian
disusul oleh timbulnya perasaan cemburu pada diri Matmuni, karena Mattasan
diketahui telah mengganggu atau menggoda istrinya, Haliyah (29). Mattasan
terbunuh seketika itu juga di tempat kejadian dalam keadaan yang sangat
mengenaskan karena diserang dengan cara nyelep,
sedangkan Iksan dan Matmuni sama sekali tidak mengalami luka. Iksan terbebas
dari segala tuduhan carok, sebab sejak awal penyidikan, Matmuni yang mengaku
sebagai pelaku tunggal. Semuanya bisa terjadi karena, pertama, Iksan berusaha mencegah setiap orang yang dapat menjadi
saksi tentang kejadian yang sebenarnya dengan cara mengancam akan membunuhnya. Kedua, Iksan ketika itu melakukan upaya nabang dengan mengeluarkan uang sekitar
Rp 15.000.000.
3.
Cemburu pada Tetangga
Pada hari Minggu pagi sekitar pukul 06.30 WIB,
di suatu jalan desa Mandangin terlah terjadi carok antara Bunawi (28) dengan
Dahlan (32) yang berakhir dengan tewasnya Dahlan di tempat kejadian. Dalam
peristiwa carok ini, Bunawi menyerang dengan cara nyelep menggunakan are’
takabuwan. Bacokan-bacokan yang dilancarkan oleh Bunawi langsung mengenai
mulut, pinggang sebelah kanan, serta perut, sehingga usus besar korban terburai
keluar. Dahlan pun tewas seketika di tempat kejadian carok. Latar belakang
permasalahan yang menjadi faktor pemicu terjadinya peristiwa carok ini adalah
Bunawi merasa cemburu dan marah kepada Dahlan. Menurut Bunawi, Dahlan dianggap
telah terbukti berselingkuh dengan istrinya, Masniyati (25). Bagi Bunawi,
perilaku Dahlan adalah penghinaan terhadap martabat dirinya sebagai seorang
suami. Bahkan dia menganggap perbuatan Dahlan sebagai tindakan arosak atoran (merusak aturan).
B.
Kasus-Kasus Carok Bermotif
selain Gangguan terhadap Istri
1.
Mempertahankan Martabat
Tepat pada Kamis malam sekitar pukul 19.00 WIB,
Aliwafa (22) terlibat carok dengan Sumahwi (24). Kejadiannya di suatu jalan
umum di kota kecil kawedanan Billapora, yang masih termasuk dalam wilayah
kabupaten Bangkalan. Keduanya adalah pemuda lajang yang pekerjaan sehari-harinya
sebagai penarik becak. Dengan cara nyelep, Aliwafa membunuh Sumahwiyang
sebelumnya menuduh Aliwafa sebagai pencuri cincin. Akibat perbuatannya membunuh
Sumahwi, Aliwafa dipidana dengan hukuman selama lima tahun. Bagi Aliwafa, makna
tewasnya Sumahwi itu adalah sebagai pembalasan yang setimpal bagi Sumahwi atas
tindakannya yang telah mempermalukan dirinya sekaligus telah melecehkan harga
dirinya.
2.
Merebut Harta Warisan
Pada hari Sabtu siang sekitar pukul 12.15 WIB,
telah terjadi peristiwa carok antara Sulaiman (40) dengan Sami’an (50) di
halaman sebuah pasar kecamatan Kampar yang berakhir dengan kematian Sami’an.
Kedua orang pelaku carok ini adalah satu keluarga dan termasuk dalam kategori
kerabat inti. Dalam lingkungan keluarga mereka, Sulaiman adalah keponakan dari
Sami’an, sebab ibu Sulaiman, bernama Halimah (60), adalah kakak kandung
Sami’an. Pemicu carok ini adalah masalah ketidakadilan dalam hal penguasaan
harta warisan.
Pada suatu ketika, Sami’an menderita kerugian
uang sebesar lebih dari Rp2.000.000,00 akibat tiga ekor sapinya hilang dicuri
orang beberapa hari sebelum dibawa ke pasar hewan. Untuk menutupi kerugian ini,
Sami’an menggadaikan secara sepihak lahan pertanian milik kakaknya, Halimah,
kepada orang lain. Peristiwa perampasan secara sepihak lahan milik ibu Sulaiman
itu dianggap sebagai pelecehan terhadap orang tuanya dan peristiwa carok pun
tak terelakkan lagi.
3.
Membalas Dendam Kakak Kandung
Pada suatu dini hari Rabu
atau sekitar pukul 01.00 WIB , telah terjadi peristiwa carok yang melibatkan
Tawil (21) dan Abidin (29), yang keduanya sama-sama penduduk desa Pecorah.
Aakibat bacokan celurit oleh Tawil, Abidin menderita luka-luka parah pada
kepala baguan atas kiri, leher sebelah kiri, bahu sebelah kanan sehingga tewas
seketika itu juga. Peristiwa carok ini disaksikan sendiri oleh Sutinah (25),
istri korban yang ketika kejadian berlangsung sedang tidur bersama suaminya di
sebuah balai-balai pada ruangan bagian belakang rumahnya yang berdekatan dengan
kandang kerbau. Latar belakangnya adalah perasaan dendam Tawil kepada Abidin,
karena Abidin telah membunuh Samanhuri (27), kakak kandungnya, sekitar empat
tahun sebelumnya. Tawil divonis hukuman penjara selama delapan tahun.
BAB IV
MAKNA DAN KONTEKS SOSIAL BUDAYA CAROK
A.
Pengertian Carok
Orang Madura yang merasa malo karena dilecehkan harga dirinya kemudian melakukan carok,
disebut sebagai pelaku carok. Tapi ketika carok benar-benar terjadi, yang
dimaksud dengan pelaku carok adalah kedua belah pihak, baik pihak yang merasa
harga dirinya dilecehkan maupun pihak yang dianggap melakukan pelecehan
itu. Apabila seorang laki-laki yang
dilecehkan harga dirinya, tetapi kemudian tidak berani melakukan carok, orang
Madura akan mencemoohnya sebagai tidak laki-laki. Bahkan beberapa informan
justru menyebutnya sebagai bukan orang Madura. Jadi, orang Madura melakukan
carok, bukan karena semata-mata tidak mau dianggap sebagai penakut meskipun
sebenarnya takut mati tapi juga agar tetap dianggap sebagai orang Madura. Carok
berarti salah satu cara orang Madura untuk mengekspresikan identitas etnisnya.
Itu semua semakin memperkuat anggapan bahwa carok bukan tindakan kekerasan pada
umumnya, tetapi tindakan yang syarat dengan makna-makna sosial budaya sehingga
harus dipahami sesuai dengan konteksnya.
Institusi kepolisian tidak lagi berperan
sebagai pengayom masyarakat, melainkan justru ikut membantu atau mendorong
terjadinya carok. Menurut KUHP, pelaku carok diancam sanksi pidana berupa
hukuman penjara maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau hukuman
penjara selama-lamanya 20 tahun. Tapi ancaman sanksi hukum ini dalam praktiknya
cenderung tidak diterapkan secara konsisten, bahkan terkesan sangat ringan,
karena pelaku carok biasanya hanya menjalani hukuman penjara tidak lebih dari
sepuluh tahun. Bahkan hukuman penjara ini semakin ringan apabila para pelaku
carok melakukan upaya nabang.
B.
Persiapan dan Prasayarat
Carok
Carok dengan cara nyelep memerlukan lebih banyak waktu daripada carok yang dilakukan
dengan cara bertahap-tahap karena harus dipersiapkan lebih cermat. Hal-hal yang
harus dipelajari terutama waktu-waktu kapan musuhnya itu keluar rumah, kemana
tujuannya, jalan desa mana yang biasa dilewatinya, dan hal-hal lain yang
diperkirakan dapat dipakai sebagai indikator tentang musuhnya, sehingga ketika
diserang nanti benar-benar dalam keadaan lengah. Karena rencana pelaksanaan
carok (baik yang dilakukan dengan cara ngonggai
atau nyelep) biasanya sudah dimatangkan
dalam sidang keluarga. Seseorang yang akan melakukan carok harus mempersiapkan
dirinya secara fisik maupun mental yang dapat berupa penguasaan teknik-teknik
bela diri. Seseorang yang akan melakukan carok, tidak semata-mata harus
mengandalkan kekuatan fisik, tapi harus juga memiliki kekuatan yang diperoleh
secara nonfisik (supranatural) dengan bantuan kiai atau dukun untuk melakukan
proses “pengisian” mantra-mantra ke badan pelaku carok.
Orang yang melakukan carok memerlukan banyak
dana, bagi pihak yang menang maupun pihak yang kalah. Dana itu sangat
diperlukan sebagai persiapan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ritual
keagamaan bagi pelaku carok yang terbunuh. Kebutuhan dana untuk pemenang carok
biasanya selalu lebih besar daripada yang kalah (terbunuh). Selain untuk nabang, dana tersebut diperlukan untuk
membiayaikebutuhan hidup keluaraga yang ditinggalkan selama yang bersangkutan
menjalani hukuman penjara. Bagi pelaku carok yang kebetulanmenjadi anggota remo, yang bersangkutan dapat mengadakan
remo yang disebut remo carok.
C.
Pelaksanaan Carok
Incaran atau sasaranutama dalam carok balasan
adalah orang yang menang dalam carok sebelumnya, sasaran berikutnya adalah
kerabat dekatnya, terutama orang tua, karena dianggap sebagai representasi dari
diri musuhnya. Carok yang permasalahannya dilatarbelakangi oleh gangguan
terhadap perempuan (istri), menurut pandangan orang Madura, harus dilaksanakan
sesegera mungkin, tidak boleh lebih dari 40 hari sejak permasalahnnya diketahui
(oleh pihak suami atau keluarga yang lainnya). Jika lebih dari jangka waktu itu,
orang Madura akan menilainya sebagai baruy
(basi). Carok yang berlatar belakang masalah-masalah selain perempuan (gangguan
terhadap istri) waktu pelaksanaannya tidak dibatasi dalam jangka waktu
tertentu.
Mengenai waktu pelaksanaan carok, tidak ada
ketentuan ataukesepakatan, apakah harus dilakukan pada waktu pagi, siang, sore,
atau malam hari. Yang penting bagi pelaku carok, ketika carok dilakukan,
diusahakan agar tidak diketahui oleh orang lain, atau setidak-tidaknya
meminimalisasi sanksi-sanksi. Alat atau senjata tajam yang diperlukan ketika
carok terdiri dari berbagai jenis, mulai yang berbentuk panjang (pedang,
tombak, pisau dan sejenisnya) sampai yang berbentuk melengkung (celurit, calok, sekken, dan sejenisnya). Dalam
praktiknya, senjata tajam jenis celurit (jenis are’ takabuwan) yang paling lazim dipergunakan.
D.
Pascacarok
Setelah peristiwa carok, ada kalanya jrangkong atau din-dadin arwah pelaku carok terus muncul hingga melebihi jangka
waktu 40 hari. Pada saat ini, jrangkong
yang semula berupa suara-suara atau bayang-bayang berubah menjadi baung (berbentuk seekor binatang berbulu
hitam dengan mata seolah-olah bersinar dan menyorot tajamyang ukurannya
kira-kira sebesar kambing), dimaknai bahwa almarhum sangat menderita dia lam
baka karena tidak diterima oleh Tuhan. Selama orang Madura tetap memaknai carok
sebagai suatu proses pelampiasan kepuasan dan kebanggaan, bahkan dendam,
kemudian mewujudkannya dalam simbol-simbol berupa benda-benda yang erat
kaitannya dengan peristiwa carok itu sendiri, maka selama itu pula orang Madura
tidak akan pernah terlepas dari tindakan kekerasan dalam upaya mencari
penyelesaian konflik yang bersumber pada pelecehan harga diri. Pelaku carok
yang menang langsung melaporkan diri ke kantor polisi, untuk selanjutnya
ditahan guna kepentingan proses penyidikan tenyang peristiwa yang carok yang
dilakukan. Apabila yang bersangkutan memang telah mempunyai rencana untuk nabang, maka sejak itu pula proses upaya
nabang dimulai.
Proses nabang
mempunyai beberapa tahapan. Pertama, yang berkepentingan menghubungi
seorang calo. Kedua, proses tawar-menawar tentang berapa biaya yang harus
dikeluarkan oleh pihak pelaku carok. Jika
pada akhir carok situasinya menunjukkan korban dalam keadaan mati seketika di
tempat kejadian, biasanya tarifnya lebih murah, sebab tidak ada atau sedikit
kesempatan bagi korban menceritakan kejadianyang sebenarnya kepada penyidik.
Tarif untuk korban yang masih hidup biasanya ditentukan sekitar Rp 5.000.000,
sedangkan untuk korban mati lebih rendah, yaitu sekitar Rp 3.000.000,00. Keberhasilan
dalam upaya nabang merupakan
kebanggaan tersendiri. Terlepas dari apapun tujuannya, upaya nabang merupakan suatu proses
mentransfer carok dari pelanggaran hukum menjadi suatu bentuk komoditas. Upaya nabang merupakan proses toleransi
terhadap terus berlangsungnya carok yang menurut hukum formal, termasuk
tindakan kriminalitas berbentuk kekerasan (pembunuhan). Padahal, seharusnya
melalui kekuatan hukum formal tindakan kekerasan ini bisa diminimalisasi. Proses
tersebut akan cenderung terus berlangsung jika para pelaku carok selalu
memaknai keberhasilan dalam upaya nabang
sebagai cara lain untuk mempertegas predikat dan kapasitas kejagoannya.
E.
Respon Masyarakat
Tanggapan pihak keluarga pelaku carok yang
menang pada umunya membenarkan carok itu dilakukan, dan justru kemenangannya
membanggakan mereka. Berbeda dengan keluarga pemenang carok, semua keluarga
korban carok menaruh perasaan dendam kepada orang yang sudah membunuh anggota
keluarganya. Mengenai tanggapan masyarakat terhadap carok, pada umumnya mereka
tidak menyalahkan para pelakunya membunuh lawan-lawannya. Ada beberapa bentuk
dukungan dan persetujuan masyarakat terhadap carok, antara lain dalam bentuk
sindir-sindiran sinis bila seseorang tidak melakukan carok, antusiasme kanca remo menghadiri penyelenggaraan remo carok, pemberian predikat sebagai
orang jago bagi pelaku carok yang menang, serta kunjungan-kunjungan rutin
kepada pelaku carok selama menjalani hukuman penjara.
Tanggapan negatif terhadap carok sebenarnya
juga ada pada orang Madura yang bertugas sebagai tenaga paramedis.
Menurutpengakuan beberapa tenaga paramedis tersebut, jika kebetulan sedang
menangani korban-korban carok, mereka tidak pernah melakukan pembiusan pada
diri pelaku carok ketika luka-luka parah yang dideritanya harus dijahit atau
dioperasi. Selain itu, cara menjahit luka-luka tersebut dilakukan dengan
sembarangan, sehingga para pelaku carok selalu berteriak-teriak kesakitan
selama pengobatan berlangsung. Semua ini dimaksudkan agar para pelaku carok
menjadi jera dan tidak akan melakukan carok lagi.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Carok merupakan kekurangmampuan sebagian
masyarakat Madura dalam mengekspresikan budi bahasa, karena mereka lebih
mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang-orang
yang dianggap musuh,sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri
tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok oleh sebagian pelakunya
dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi
sebagai orang jago dalam komunitas lingkungannya. Keberhasilan para pemenang
carok dalam upaya nabang justru
semakin memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai orang jago.
Berdasarkan bebrapa kesimpulan di atas, kiranya
dapat dikemukakan beberapa rekomendasi dalam upaya meredam terjadinya carok di
kemudian hari di masyarakat Madura. Pertama, perlu upaya revitalisasi untuk
menegakkan kembali otoritas dan kewibawaan negara. Kedua, perlu adanya
penyadaran pada masyarakat Madura pelaku carok. Ketiga, perlu dilakukan
refleksi untuk menata kembali pendistribusian kekuasaan secara lebih merata dan
proporsional antara laki-laki dan perempuan dalam kebudayaan Madura. Keempat,
perlu disadarkan bahwa carok bukan merupakan satu-satunya alat untuk memperoleh
kekuasaan atau meraih posisi status sosial yang lebih tinggi. Kelima, perlu
segera dihilangkan kebiasaan melakukan upaya nabang. Keenam, para keluarga korban carok perlu pula mulai
disadarkan agar menghilangkan kebiasaan menyimpan segala benda yang pernah
digunakan ketika melakukan carok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar