Judul buku: Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa:
Etnografi Orang Rimba di Jambi
Pengarang: Adi Prasetijo
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, 2011
Pengarang: Adi Prasetijo
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, 2011
Resume: Mahasiswa Pendidikan IPS UM 2012
Sekitar dua tahun lalu seorang kawan
memamerkan tulisannya. Sebuah thesis S-2. Kawan saya ini tidak pintar sangat,
tapi tekun dan pandai memanfaatkan peluang. Saat bekerja di Warsi, tak
disia-siakannya kesempatan untuk memahami kehidupan Orang Kubu. Obyek yang
kemudian menjadi bahan masternya. Bahan yang kemudian menjadi inti buku
“Serah Jajah” ini. Dominasi Orang Melayu terhadap Orang Kubu di Jambi dan
bagaimana Orang Kubu melawan dominasi itu. Masyarakat Melayu Jambi dibagi
menjadi dua sub kebudayaan yaitu Melayu yang ada didaerah hulu (pedalaman) atau
disebut Ulu dan kebudayaan masyarakat Melayu yang ada dihilir (pesisir) atau
disebut ilir.
Orang rimba merupakan suku bangsa yang hidup berdasarkan
meramu, mereka juga hidup berburu dan mecari ikan mereka mengenal berladang dan
kegiatan lain yang berhubungan dengan pertanian dan perkebunan, khususnya
tanaman karet. Penggunaan
terminologi Orang Rimba atau Anak Dalam untuk mengganti Kubu demi
kehalusan. Kata kubu berkonotasi negatif, yang berarti bodoh, bengak, keras
kepala, dan tak mau mengikuti aturan. Padahal, di masa lalu kata kubu merujuk
kepada mereka yang tinggal di hutan. Mengubu berarti berdiam di hutan selama
masa tertentu.
Mengutip Loeb, 1927, “..Kubu berarti orang-orang
yang makan segalanya termasuk makanan yang tidak bersih, dimana mereka tidak
hidup di dalam rumah, dan tubuh mereka tidak bersih sebagai akibat penolakan
mereka terhadap air. Orang-orang yang mempunyai karakter yang rendah…”. Pada saat ini tidak semua waris dan jenang
berfungsi seperti dahulu. Sementara orang Terang yang berfungsi sebagai jenang
tak mampu melakukan tugasnya karena hanya bertahan dua tiga hari didalam hutan.
Kebanyakan orang terang yang berfungsi sebagai jenang mau seenaknya saja tetapi
ketika ada masalah tidak mengurus layaknya jenang yang baik.
Semakin
terbukanya hutan dan tingkat hubungan dengan Orang Terang yang semakin intensif
membuat ketergantungan Orang Rimba terhadap waris dan jenang semakin menurun. Pembukaan
hutan memperlancar Orang Rimba dengan Orang Terang tanpa waris dan jenang. Kini
Orang Rimba dituntut dapat berunding dan menyeleaikan masalah dengan Orang
Terang tanpa waris dan jenang.
Siapa Orang Rimba itu? Mereka
sebagai keturunan Melayu juga, yang karena suatu hal (melawan Belanda) lalu
melarikan diri dan tinggal di hutan. Ini menarik, dan sesuai dengan teori
antropologi sebelumnya bahwa Orang Rimba berasal dari Ras Proto-Melayu, bukan
Veddoid.
Orang Rimba melakukan perlawanan
terhadap dominasi dan diskrimanasi dari suku mayoritas Orang Melayu Jambi.
Perlawanan ini antara lain dengan memilih hidup mirip Orang Melayu. Mereka
menetap di sebuah kampung, memeluk agama Islam, bahkan mengganti nama mereka
sesuai nama Melayu. Mereka pun lebih suka disebut sebagai Suku Anak Dalam atau
dikenal juga sebagai kubu jinak. Namun ada juga yang memilih mempertahankan
identitas aslinya sebagai Orang Rimba yang hidup di hutan dan mempertahankan
nilai-nilai yang dianut nenek moyangnya. “Usir babi itu. Ini rumah orang islam.
Najis !”. Ucapan tersebut lumrah jika diucapkan seorang muslim di Jambi karena
babi merupakan binatang yang diharamkan, namun menjadi lain jika diucapkan
orang rimba karena babi merupakan binatang yang dekat dengan kehidupan sehari.
Islam bagi orang rimba air panas merupakan agama yang menuju kebaikan, agama
yang akan menebus dosa. Menurut mereka, apa yang sudah mereka lakukan jauh dari
kebaikan, makan makanan yang diharamkan, hidup tanpa pakaian, hanya mengenakan
cawot, hidup dihutan dengan cara yang menjijikkann jauh dari kesehatan, serta
tidak menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Orang rimba yang masuk islam melanggar
adat (mencampok adat) karena mencoba mencampurkan antara dunia oraang terang dan
dunia orang rimba yang batasnya jelas. Jika orang rimba masuk ke dunia orang
terang dan orang terang masuk ke hutan maka dunia segera kiamat. Orang rimba
air panas dan sungai keruh atau Singosari selama ini dikenal telah masuk islam.
Ada 34 orang rimba air panas yang mengakui secara terbuka bahwa mereka telah
memeluk agama islam.
Tentu saja konsekuensi pilihan ini
menimbulkan masalah baru yang berkait erat dengan perubahan pola hidup,
kebiasaan, ekonomi, dan lingkungan yang mereka hadapi. Apalagi, walau sudah
meniru cara Melayu, bagi Orang Melayu mayoritas, Orang Rimba tetaplah Orang
Rimba. Tak ada yang membuat mereka diterima sejajar, sederajad dengan Orang
Melayu. Diskriminasi perlakuan ini masih mereka terima. Mungkin juga sampai
sekarang (karena data dalam buku ini diambil penulis saat bekerja sekitar tahun
1997-2000).
Penulis mengisahkan pengalamannya
ketika bersama pemandunya yang Orang Rimba bertamu di rumah Orang Melayu.
Penulis bebas masuk ke dalam rumah, makan dan minum dengan piring dan gelas yang
layak. Sementara si pemandu yang Orang Rimba tetap di luar rumah, duduk di
lantai kayu, makan dan minum dari piring dan gelas plastik yang khusus
disediakan tuan rumah untuk Orang Rimba. Keesokan harinya, tatkala si penulis
hendak menggunakan gelas dan piring bekas Orang Rimba itu, penulis dilarang
oleh tuan rumah.
Kisah lain tentang seorang perempuan
Rimba bersama ketiga anaknya yang meminta nasi kepada warga kampung. Si Orang
Melayu lalu menyuguhkan nasi di atas daun pisang, dan diletakkannya di atas tanah
di halaman rumah. Keempat Orang Rimba lalu melahapnya begitu saja. Membaca
pembedaan perlakuan ini, tentu membuat miris hati. Pembedaan yang diperkuat
sikap dan kebijakan pemerintah yang memandang Orang Rimba atau Kubu itu suku
terasing yang harus dibina dan dijinakkan dalam kawasan pemukiman tertentu.
Kebijakan pemerintah ini kelak
justru mendorong kuatnya dominasi Orang Melayu. Orang Rimba jadi makin
terpinggirkan. Sementara di pihak lain, alam dan lingkungan hidup asli Orang
Rimba, dalam hal ini hutan di kawasan taman nasional makin dijarah dan
dihabiskan.
Mmenjelaskan siapa Orang Kubu alias
Rimba, bagaimana mereka hidup dan bereaksi terhadap perubahan di sekitarnya,
tapi juga konflik perebutan alam (hutan) yang dulunya dihuni Orang Rimba di
antara banyak kepentingan. Kita diajak memahami konflik tentang kebun karet,
sawit, atau nasib pohon rotan dan damar. Kita diajak merenungkan tradisi
melangun yang sebetulnya berisi kearifan lokal, tentang penyuburan tanah paska
digarap, hingga akhirnya berubah menjadi ajang perlindungan kawasan hutan Orang
Kubu. Kita pun diajak berpikir bahwa Orang Kubu bukanlah benar-benar
bodoh, tapi bisa pura-pura bodoh untuk mempertahankan kepentingannya.
Keseharian
orang rimba saat ini mengggunakan keseharian kelompok orang pada umumnya
setelah memasuki kehidupan seperti orang terang. Para wanita bangun jam 6.
Mereka lalu membuatkan teh atau kopi setelah itu menyapu rumah. Anak-anak
segera mandi dan berangkat sekolah. Anak-anka yang tidak bersekolah, bermain di
depan rumah atau diruang tamu. Kemudian ayah duduk di ruang tamu lalu makan
pagi bersama. Siang hari para lelaki berkerja pada bidang masing-masing. Sejak
babi diharamkan, orang rimba air panas kesulitan mendapatkan lauk. Mereka hanya
makan ikan. Ayam hanya mereka makan ketika mereka sedang mengadakan acara
selamatan.
Mengenai
etnografi kehidupan orang rimba atau suku anak dalam di Jambi. Serah naik jajah
turun merupakan perlambangan dari hubungan dominasi minoritas antara orang
rimba dan orang melayu. Pengalaman penulis yang telah beberapa tahun tinggal
bersama dengan komunitas orang rimba sangat memperkaya pengembaraan informasi
dan kejadian pada kehidupan orang rimba itu sendiri dan lingkungan yang
mempengaruhinya. Haruskah mereka menjadi orang rimba atau memilih untuk tidak
diakui sebagai orang rimba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar