Sabtu, 21 November 2015

Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi



Judul buku: Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi
Pengarang: Adi Prasetijo
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, 2011
Resume: Mahasiswa Pendidikan IPS UM 2012
 
Sekitar dua tahun lalu seorang kawan memamerkan tulisannya. Sebuah thesis S-2. Kawan saya ini tidak pintar sangat, tapi tekun dan pandai memanfaatkan peluang. Saat bekerja di Warsi, tak disia-siakannya kesempatan untuk memahami kehidupan Orang Kubu. Obyek yang kemudian menjadi bahan masternya. Bahan yang kemudian menjadi inti buku  “Serah Jajah” ini. Dominasi Orang Melayu terhadap Orang Kubu di Jambi dan bagaimana Orang Kubu melawan dominasi itu. Masyarakat Melayu Jambi dibagi menjadi dua sub kebudayaan yaitu Melayu yang ada didaerah hulu (pedalaman) atau disebut Ulu dan kebudayaan masyarakat Melayu yang ada dihilir (pesisir) atau disebut ilir.
Orang rimba merupakan suku bangsa yang hidup berdasarkan meramu, mereka juga hidup berburu dan mecari ikan mereka mengenal berladang dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pertanian dan perkebunan, khususnya tanaman karet. Penggunaan terminologi Orang Rimba atau Anak Dalam  untuk mengganti Kubu demi kehalusan. Kata kubu berkonotasi negatif, yang berarti bodoh, bengak, keras kepala, dan tak mau mengikuti aturan. Padahal, di masa lalu kata kubu merujuk kepada mereka yang tinggal di hutan. Mengubu berarti berdiam di hutan selama masa tertentu.
Mengutip Loeb, 1927, “..Kubu berarti orang-orang yang makan segalanya termasuk makanan yang tidak bersih, dimana mereka tidak hidup di dalam rumah, dan tubuh mereka tidak bersih sebagai akibat penolakan mereka terhadap air. Orang-orang yang mempunyai karakter yang rendah…”. Pada saat ini tidak semua waris dan jenang berfungsi seperti dahulu. Sementara orang Terang yang berfungsi sebagai jenang tak mampu melakukan tugasnya karena hanya bertahan dua tiga hari didalam hutan. Kebanyakan orang terang yang berfungsi sebagai jenang mau seenaknya saja tetapi ketika ada masalah tidak mengurus layaknya jenang yang baik.
Semakin terbukanya hutan dan tingkat hubungan dengan Orang Terang yang semakin intensif membuat ketergantungan Orang Rimba terhadap waris dan jenang semakin menurun. Pembukaan hutan memperlancar Orang Rimba dengan Orang Terang tanpa waris dan jenang. Kini Orang Rimba dituntut dapat berunding dan menyeleaikan masalah dengan Orang Terang tanpa waris dan jenang.
Siapa Orang Rimba itu? Mereka sebagai keturunan Melayu juga, yang karena suatu hal (melawan Belanda) lalu melarikan diri dan tinggal di hutan. Ini menarik, dan sesuai dengan teori antropologi sebelumnya bahwa Orang Rimba berasal dari Ras Proto-Melayu, bukan Veddoid.
Orang Rimba melakukan perlawanan terhadap dominasi dan diskrimanasi dari suku mayoritas Orang Melayu Jambi. Perlawanan ini antara lain dengan memilih hidup mirip Orang Melayu. Mereka menetap di sebuah kampung, memeluk agama Islam, bahkan mengganti nama mereka sesuai nama Melayu. Mereka pun lebih suka disebut sebagai Suku Anak Dalam atau dikenal juga sebagai kubu jinak. Namun ada juga yang memilih mempertahankan identitas aslinya sebagai Orang Rimba yang hidup di hutan dan mempertahankan nilai-nilai yang dianut nenek moyangnya. “Usir babi itu. Ini rumah orang islam. Najis !”. Ucapan tersebut lumrah jika diucapkan seorang muslim di Jambi karena babi merupakan binatang yang diharamkan, namun menjadi lain jika diucapkan orang rimba karena babi merupakan binatang yang dekat dengan kehidupan sehari. Islam bagi orang rimba air panas merupakan agama yang menuju kebaikan, agama yang akan menebus dosa. Menurut mereka, apa yang sudah mereka lakukan jauh dari kebaikan, makan makanan yang diharamkan, hidup tanpa pakaian, hanya mengenakan cawot, hidup dihutan dengan cara yang menjijikkann jauh dari kesehatan, serta tidak menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Orang rimba yang masuk islam melanggar adat (mencampok adat) karena mencoba mencampurkan antara dunia oraang terang dan dunia orang rimba yang batasnya jelas. Jika orang rimba masuk ke dunia orang terang dan orang terang masuk ke hutan maka dunia segera kiamat. Orang rimba air panas dan sungai keruh atau Singosari selama ini dikenal telah masuk islam. Ada 34 orang rimba air panas yang mengakui secara terbuka bahwa mereka telah memeluk agama islam.
Tentu saja konsekuensi pilihan ini menimbulkan masalah baru yang berkait erat dengan perubahan pola hidup, kebiasaan, ekonomi, dan lingkungan yang mereka hadapi. Apalagi, walau sudah meniru cara Melayu, bagi Orang Melayu mayoritas, Orang Rimba tetaplah Orang Rimba. Tak ada yang membuat mereka diterima sejajar, sederajad dengan Orang Melayu. Diskriminasi perlakuan ini masih mereka terima. Mungkin juga sampai sekarang (karena data dalam buku ini diambil penulis saat bekerja sekitar tahun 1997-2000).
Penulis mengisahkan pengalamannya ketika bersama pemandunya yang Orang Rimba bertamu di rumah Orang Melayu. Penulis bebas masuk ke dalam rumah, makan dan minum dengan piring dan gelas yang layak. Sementara si pemandu yang Orang Rimba tetap di luar rumah, duduk di lantai kayu, makan dan minum dari piring dan gelas plastik yang khusus disediakan tuan rumah untuk Orang Rimba. Keesokan harinya, tatkala si penulis hendak menggunakan gelas dan piring bekas Orang Rimba itu, penulis dilarang oleh tuan rumah.
Kisah lain tentang seorang perempuan Rimba bersama ketiga anaknya yang meminta nasi kepada warga kampung. Si Orang Melayu lalu menyuguhkan nasi di atas daun pisang, dan diletakkannya di atas tanah di halaman rumah. Keempat Orang Rimba lalu melahapnya begitu saja. Membaca pembedaan perlakuan ini, tentu membuat miris hati. Pembedaan yang diperkuat sikap dan kebijakan pemerintah yang memandang Orang Rimba atau Kubu itu suku terasing yang harus dibina dan dijinakkan dalam kawasan pemukiman tertentu.
Kebijakan pemerintah ini kelak justru mendorong kuatnya dominasi Orang Melayu. Orang Rimba jadi makin terpinggirkan. Sementara di pihak lain, alam dan lingkungan hidup asli Orang Rimba, dalam hal ini hutan di kawasan taman nasional makin dijarah dan dihabiskan.
Mmenjelaskan siapa Orang Kubu alias Rimba, bagaimana mereka hidup dan bereaksi terhadap perubahan di sekitarnya, tapi juga konflik perebutan alam (hutan) yang dulunya dihuni Orang Rimba di antara banyak kepentingan. Kita diajak memahami konflik tentang kebun karet, sawit, atau nasib pohon rotan dan damar. Kita diajak merenungkan tradisi melangun yang sebetulnya berisi kearifan lokal, tentang penyuburan tanah paska digarap, hingga akhirnya berubah menjadi ajang perlindungan kawasan hutan Orang Kubu. Kita pun diajak  berpikir bahwa Orang Kubu bukanlah benar-benar bodoh, tapi bisa pura-pura bodoh untuk mempertahankan kepentingannya.
Keseharian orang rimba saat ini mengggunakan keseharian kelompok orang pada umumnya setelah memasuki kehidupan seperti orang terang. Para wanita bangun jam 6. Mereka lalu membuatkan teh atau kopi setelah itu menyapu rumah. Anak-anak segera mandi dan berangkat sekolah. Anak-anka yang tidak bersekolah, bermain di depan rumah atau diruang tamu. Kemudian ayah duduk di ruang tamu lalu makan pagi bersama. Siang hari para lelaki berkerja pada bidang masing-masing. Sejak babi diharamkan, orang rimba air panas kesulitan mendapatkan lauk. Mereka hanya makan ikan. Ayam hanya mereka makan ketika mereka sedang mengadakan acara selamatan.
Mengenai etnografi kehidupan orang rimba atau suku anak dalam di Jambi. Serah naik jajah turun merupakan perlambangan dari hubungan dominasi minoritas antara orang rimba dan orang melayu. Pengalaman penulis yang telah beberapa tahun tinggal bersama dengan komunitas orang rimba sangat memperkaya pengembaraan informasi dan kejadian pada kehidupan orang rimba itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya. Haruskah mereka menjadi orang rimba atau memilih untuk tidak diakui sebagai orang rimba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar