Minggu, 27 April 2014

BALAI PENYELAMAAN BENDA PURBAKALA MPU PURWA MALANG






BALAI PENYELAMAAN BENDA PURBAKALA MPU PURWA MALANG


Sejarah Balai Penyelamatan Mpu Purwa
Balai penyelamatan atau lebih dikenal Museum Mpu Purwa Malang berdiri pada tahun 2003 di sebuah wilayah strategis dekat Jalan Sukarno Hatta Malang, tepatnya komplek Perum Griyashanta, Kelurahan Mojolangu, Kecamatan Lowokwaru Malang. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan benda-benda cagar budaya yang terdapat di Kota Malang, yang merupakan peninggalan dari zaman kerajaan Kanjuruhan abad VIII M, hingga masa akhir kerajaan Majapahit abad XVI M. Di halaman bangunan tersebut terdapat patung Joko Dolog dan sebuah Makara dengan motif  ikan dan gajah yang menghadap ke pintu gerbang utama. Melangkah masuk ruangan Balai, kita akan melihat Prasasti Muncang yang masih utuh dan tampak indah. Prasasti ini berisi tentang pembebasan desa Munjang dari segala pajak kerajaan karena daerah tersebut digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap “Hyang Brahma”atau Gunung Bromo.
Bangunan yang beratap joglo dengan kombinasi pintu anjungan bergaya Spanyol ini memiliki ruangan besar untuk koleksi. Di dalam anjungan tedapat  tulisan yang diambil dari bahasa Sansekerta yaitu: “GUNA PARAMITA ACINTYA BHAKTI” yang merupakan sesanti sekaligus tahun Sangkala pembangunan Balai Penyelamatan tersebut. Dengan uraian arti sebagai berikut:
Guna: Tabiat, sifat, memiliki nilai 3
Paramita : Sempurna, luhur, memiliki nilai 0
Acintya: Tak terlukiskan, tak terbayangkan, memiliki nilai 0
Bhakti : Pengabdian, Kesetiaan, Memiliki nilai 2
Nilai 3002 jika dijadikan tahun harus dibalik sehingga didapat angka 2003. Sesanti yang terkandung dalam Sengkala itu adalah: “Pengabdian yang tulus (tak terbayangkan) merupakan sifat yang luhur.”
Balai Penyelamatan Mpu Purwa mengoleksi benda-benda yang mengandung nilai sejarah dan budaya terutama yang berhubungan dengan pertumbuhan Kota Malang sejak abad VIII M sampai tahun 1950-an. Sebenarnya rencana untuk membuat Balai Penyelamatan benda-benda sejarah sudah di wacanakan sejak tahun 1980-an. Dengan berbagai kendala adminstrasi dan lain sebagainya realisasi dari Balai Penyelmtn ini bisa terlaksana pada tahun 2001 yang penempatannya di gedung bekas SDN Mojolangu 2 Malang dan mulai beroperasi normal pada tahun 2003.
Nama Mpu Purwa sendiri sebagai nama Balai Penyelamatan ini juga ada pertimbangannya. Mpu Purwa sendiri adalah seorang tokoh religius masyarakat Jawa kuno, beliau bukan seorang pendeta biasa, melainkan seorang STHAPAKA (pendeta yang utama), nasehat dan petuahnya selalu di tunggu oleh masyarakat kala itu. Karakter beliau adalah selalu berbudi luhur, sehingga menjadi cikal bakal Raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit dan Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari, hal ini terjadi karena anak Mpu Purwa yaitu Ken Dedes adalah sumber keturunan raja – raja tersebut.

Peran Balai Penyelamatan dalam Dunia Pendidikan
Fungsi utama dari sebuah Balai Penyelamatan atau Museum adalah sebagai lembaga yang diperuntukkan bagi masyarakat umum untuk melihat kembali benda-benda atau arsip yang telah ada sejak zaman dahulu. Tujuan dibuatnya Balai Penyelmatan Mpu Purwa ini adalah untuk  mengumpulkan, merawat, dan menyajikan serta melestarikan warisan budaya masyarakat untuk tujuan studi, penelitian dan kesenangan atau hiburan.
Dalam kaitannya dengan Dunia Pendidikan bangunan yang menyimpan benda purbakala bisa dijadikan media pembelajaran untuk peserta didik guna lebih mengenal benda-benda bersejarah. Melalui pengenalan benda-benda tersebut pendidik memberikan informasi dan wawasan sejarah dengan cukup mudah karena apa yang diinformasikan terdapat bukti nyatanya. Ada beberapa benda di Balai penyelamatan Mpu Purwa yang sangat baik diperkenakan kepada peserta didik, salah satunya adalah Arca Ganesha Tikus. Arca ini menjadi peninggalan teristimewa di Balai Penyelamatan karena konon arca unik tersebut hanya terdapat di Balai Mpu Purwa tidak ada lagi di museum Indonesia lainya. Makna tikus yang dibawah Ganesha mempunyai arti tersendiri, dan hanya orang-orang yang mengerti sejarah saja yang mampu mengartikannya.
Selain mempelajari sejarah, di Balai Penyelamatan tersebut bisa kita pelajari tentang beberapa tumbuhan yang menghiasi disekitar halaman. Ada tumbuhan berupa pohon Bodhi yang dalam ceritanya merupakan pohon untuk meditasi Sidharta Gautama dalam mencari ilmu agama yang suci. Pohon tersebut letaknya terdapat di dekat Patung Budha yang sedang bersemedi. Pendidik bisa memberikan informasi kepada peserta didiknya mengenai gerak-gerak tangan dari Budha yang sedang semedi, karena setiap gerak yang dilakukan memiliki arti tersendiri.
Namun dibalik banyaknya manfaat pendidikan dari Balai Penyelamatan tersebut, ada suatu hal yang kurang mengenakkan. Hal tersebut ketika penulis melakukan wawancara terhadap petugas penjaga Balai, salah satu yang diinformasikan dari petugas adalah minimnya pengunjung dari khalayak pendidik yang sekedar melihat di tempat ini. Rata-rata hanya seminggu sekali ada rombongan dari peserta didik yang mengunjunginya, dan mereka biasanya hanya berfoto saja. Memang Balai Penyelamatan tidaklah setenar dengan musium-musium lain di Indonesia, sehingga peristiwa tadi tidaklah mengherankan bagi kita. Mungkin yang dibutuhkan untuk saat ini adalah pempublikasian mengenai Balai Penyelamatan supaya lebih dikenal masyarakat ksususnya peserta didik dari berbagai jenjang


 .