Sabtu, 21 November 2015

RESUME BUKU ORANG BAJO



ORANG BAJO

Resume: Mahasiswa Pendidikan IPS UM 2012

Bagian Pertama : Pulau Nain

BAB I   : Langkah-Langkah Pertama Sang Epilog di Lapangan Penelitian
Suku Bajo tinggal di Indonesia, yaitu di Pulau Nain, disebelah utara kota Manado (Sulawesi Utara). Pertemuan sang peneliti dengan suku ini terjadi secara tidak sengaja saat sang peneliti ingin mengunjungi orang-orang gunung yaitu suku Tomini yang berdian diri di sebelah barat Sulawesi Utara. Suku Bajo ini merupakan pelaut-pelaut pengembara yang tersebar di seluruh penjuru Asia Tenggara dan tak seorangpun tahu dari mana mereka berasal.
Rumah orang Bajo panjangnya kira-kira lima sampai tiga belas meter dan lebarnya tiga sampai empat meter, paling banyak terdiri atas dua kamar. Letak kamar pertama sering berada setelah memasuki serambi, yaitu tengga (untuk tamu), dipergunakan kamar tidur kakek-nenek. Suami-istridan anak-anak yang masih kecil tidur di dalam pores, yaitu kamar yang kedua.
Suku Bajo merupakan suku pengembara laut, jadi mata pencaharian terbesar mereka adalah nelayan atau mencari ikan. Hasil tangkapan mereka akan di bagi sesuai dengan jumlah nelayan, dan dibagi lagi dengan jumlah jala yang dipergunakan (pemilik jala yang mendapat bagian tersebut, ini sebagai tradisi bahwa hasil tangkapan ikan juga harus dikembalikan kepada jala).
Perkawinan adat yang dilakukan suku Bajo di pulau Nain ini yaitu, pertama-tama mereka mengadakan pertunangan (maso minta). Selanjutnya diteruskan dengan upacara adat, di mana para gadis-gadis ditugaskan membawa talam-talam besar yang ditutupi taplak-taplak kecil yang disebut kupeang balanjeang, yang merupakan mas kawin yang telah ditentukan oleh adat (berupa dua ratus kilo beras dan empat puluh kilo gula merah, yang dengan sukarela diberikan oleh keluarga pemuda, untuk dipakai kedua belah keluarga dalam menjamu para tamu selama menantikan upacara perkawinan dilangsungkan). Menurut adat setelah pernikahan dilangsungkan, kedua mempelai tinggal di rumah orangtua mempelai perempuan. Namun seringkali mereka hanya tinggal selama enam bulan atau satu tahun, kemudian mereka bergabung kembali dengan rumah orangtua mempelai laki-laki.

BAB II  : Di Ambang Pintu Misteri Bajo
Sebagai suku pengembara laut orang Bajo selalu mengadakan upacara-upacara sebelum mereka berangkat melaut. Upacara tersebut berlangsung satu hari sebelum keberangkatan, dan di saat hari keberangkatan. Selain itu ada juga upacara persembahan sajen yang dilakukan sesaat sebelum keberangkatan perahu atau guiop. Sebuah upacara yang dilaksanakan dengan cara membakar rumput laut yang dikeringkan untuk melindungi diri dari kekuatan jahat, yaitu setan laut dan bumi, yang disebut pudi. Selain itu persembahan tersebut ditujukan kepada dewa Aroa supaya mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang bagus.





Bagian Kedua : Desa Torosiaje

BAB I        : Berkenalan dengan Desa Torosiaje
Desa Torosiaje merupakan rangkaian dari dua, kadang-kadang tiga setengah lingkaran yang menentukan jenis-jenis jalan yang dilewati oleh perahu. Rangkaian itu juga menentukan jenis-jenis jalan yang dilewati oleh perahu, di bawah rumah-rumah desa adalah air. Untuk keluar dari rumah orang harus melompat ke dalam perahu yang biasanya ditambatkan pada tangga rumah, perahu juga merupakan satu-satunya alat angkut di desa ini. Pada tahun 1926 ketika Torosiaje diresmikan menjadi sebuah desa, waktu itu hanya berupa soppe-soppe (perahu-perahu besartempat orang Bajo tinggal) dan orang Bajo baru saja mulai berkelompok.
Dua puluh lima tahun silam, Torosiaje hanya merupakan tempat singgah yang singkat bagi orang-orang Bajo. Mereka berpindah-pindah tempatdi teluk Tomini dalam kelompok lima sampai sepuluh soppe dan singgah di pantai pulau-pulau yang ada disana.Orang Bajo masih melestarikan cara hidup yang khas pada zaman soppe ini,yaitu perahu kecil berukuran panjang delapan meter dan cukup tinggi.

BAB II       : Adat-Istiadat dan Kepercayaan
Peraturan adat pernikahan pada orang Bajo yang mengajukan lamaran kepada orangtua tunangannnya namun tetap ditolak walupun sudah memenuhi aturan adat, dapat melakukan ningkolo(duduk). Ningkolo yaitu seorang pemuda harus berusaha memasuki rumah tunangannya dan duduk di lantai smbil berkata “Aku mau duduk”, kepada seluruh anggota rumah yang menerimanya. Itu sudah cukup untuk secara otomatis melangsungkan pernikahan tersebut. Namun perbuatan seperti ini akan mendapatkan denda, kecuali pada bila hal ini terjadi pada hari raya Idul Fitri. Denda bagi ningkolo, dahulu berupa siksaan dengan membenamkan diri di laut, yaitu harus masuk ke dalam air sampai batas ketiaknya selama semalam penuh.
Selain itu juga dapat dilakukan dengan sillayang (penculikan), yang dilakukan pemuda pada tunangannya. Hal ini dilakukan dengan cara membawa kabur tunangannya tersebut ke rumah salah satu pemangku adat atau ke desa lain.

BAB III      : Rumah dan Perahu, Kehidupan di Atas Air
Rumah orang Bajo yang tinggal di desa Torosiaje berada diatas air laut, lebih tepatnya di pinggir laut yang menjorok masuk ke dalam air laut. Kamar mandinya terbuat dari dua buah dinding penyekat yang ditempelkan pada sebuah sudut dapur. Pada pagi hari, laut surut dan airpun mengalir menuju alun-alun dan laut lepas dengan membawa segala macam sampah, kulit-kulit kupasan buah dan sayuran serta juga kotoran dan tahi. Banyak lubang di lantai rumah sering menyebabkan barang-barang terjatuh ke dalam air. Pada saat pasang surut, orang-orang dapat mencari piring, gelas dan lain-lainnya, sebab barang-barang yang terjatuh itu terapung atau terbenam di dalam pasir.
Perabotan dalam rumah orang Bajo sangat sederhana. Kecuali beberapa keluarga kaya yang memiliki meja, kadang-kadang kursi tamu, dan kadang-kadang juga sebuah lemari kecil atau balai-balai dari papan, orang-orang Bajo sudah puas dengan barang-barang yang dapat mereka pergunakan untuk menangkap dan memasak ikan (kail, serampang, jala). Keadaan ekonomi dan kehidupan orang Bajo selalu dihadapkan dengan ketidakpastian, dalam artian jika ada ikan, jika ada uang, jika ada pedagang dari Papayato, jika pedagang dari Papayato itu membawa buah-buahan, cabai, tembakau, kapur sirih….. Jika orang pergi menangkap ikan, jika orang berhasil menangkapnya, dsb.
Orang Bajo kadang-kadang terpaksa hidup terpencil, meskipun mereka akhirnya selalu menemukan seorang pendayung yang berhenti di depan rumah mereka. Orang Bajo yang hidup di perahu mereka, hamper tak pernah meninggalkannya. Beberapa perahu yang ditambatkan pada sebuah tiang, ditempatkan di belakang sayap kiri desa Torosiaje. Itu adalah tempat untuk berkumpul pada hari-hari raya Islam yang menyangkut seluruh desa, dan pemilihan wakil-wakil rakyat, dsb.

BAB IV      : Kehidupan Bermasyarakat
Hal yang tak boleh terlupakan adalah bahwa orang Bajo terutama tinggal di tengah-tengah lingkungan dunia air. Keterikatan orang Bajo dengan lingkungan air ini,yang dapat diamati dan dipahami melalui adat-istiadat dan kepercayaan mereka, mendapat dimensi yang sama sekalilain apabila hal itu berkenaan dengan unsur yang membentuk lingkungan itu sendiri, yaitu air, boe. Air pasang melakukan pembersihan, sehingga, sehingga menjamin lingkungan diperbarui dan dibasmi hamanya, tetapi segi buruknya adalah tidak adanya air tawar.
Aspek kehidupan ekonomi di desa ini, yang didukung oleh jarangnya barang dan bahan makanan, semakin memperkuat sifat persediaan, konsumsi dan adanya makanan yang berubah-ubah dan bergerak dalam ruang. Orang bajo mahir menangkap ikan. Tetapi ketangkasan mereka dalam menggunakan alat-alat penangkapan ikan, dalam bergerak, sangat cocok dengan kehidupan mereka yang berhemat dalam bahan makanan sehingga memungkinkan mereka untuk menggunakannya dalam keadaan-keadaan lainnya. Sebenarnya, desa ini bukan hanya bertahan hidup berkat produksi setempat, tapi juga berkat persediaan yang datang dari luar, yaitu dari Gorontalo melalui kapal-kapal kecil, dari desa-desa yang dekat dengan Papayato melalui pedagang-pedagang yang datang dengan perahu, dari desa-desa Bajo (Kendari, Bulano, Bumbulan, dll) atau desa-desa jauh lainnya berkat pelaut-pelaut Bugis yang datang dengan sekoci.

BAB V       : Ikiko : Sejarah Orang Bajo, Potret Kehidupan Bajo
Penduduk Desa Bajo mengadakan pidato dan pertemuan-pertemuan selama masa Pemilu. Orang Bajo sangat percaya mengenai adanya pamali. Pamali adalah larangan yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan tertentu dalam situasi-situasi yang berbeda. Kepercayaan orang Bajo dalam menangani penyakit, mereka meminta pertolongan kepada dukun.
Batas-batas baru berdasarkan nilai, timbul melalui hubungan dengan masyarakat yang mengikuti aturan yang diketahui semua orang. Tindakan yang tidak diakui masyarakat akan dikenakan sanksi. Aspek-aspek budaya bahkan sosial kehidupan orang Bajo tidak berisi kewajiban-kewajiban dalam arti kata yang paling sempit. Tak ada jadwal atau tanggal upacara tertentu dan tak ada sebuah kesepakatan pun yang memprogram kegiatan-kegiatan tertentu.
Isi rumah dapat menampung beberapa anggota keluarga inti, dan menjadi sebuah keluarga diperluas yang terdiri atas ipar-ipar dan sepupu-sepupu. Orang Bajo membaginya menjadi beberapa tingkatan hubungan keluarga. Orang Bajo tidak menyukai kekejaman, dalam hubungan mereka sehari-hari.
Sistem pengenalan orang Bajo disebabkan oleh penampilan luar, bahasa, cara mendayung, seringnya berkunjung ke tempat-tempat tertentu, sifat malu, kesendirian dalam menangkap ikan, dsb. Sebenarnya orang Bajo tak mempunyai ruang yang dibudayakan. Mereka sama sekali tak tertarik pada tanah air atau Negara asal mereka. Satu-satunya unsur budaya yang tetap dan pasti bagi individu Bajo adalah orang Bajo lainnya yang merupakan satu-satunya “lingkungan” yang dapat didekati untuk mencapai kebudayaannya sendiri.

BAB VI     : Ritual-Ritual Penyembuhan. Guna-Guna
Orang Bajo menetapkan musim datangnya penyakit (musim peddi) dari November-Desember sampai Januari-Februari: ini merupakan periode hujan dan suhu udara dapat tiba-tiba menjadi panas atau dingin. Orang Bajo memiliki keterikatan pada praktik-praktik nenek moyang mereka dan kenggenan mereka untuk minum obat.
Kehidupan orang Bajo terpusat pada keampuhan pengungkapan, yaitu kata dan suara. Bagi orang-orang Bajo, cara terbaik untuk menyikapi kerewelan setan adalah dengan mengagungkannya.

BAB VII    : Individu dan Masyarakat
Saat pelaksanaan Pemilu seluruh orang Bajo baik yang sudah berusia lanjut dan kakinya tak pernah mau menginjak tanah menuju ke kotak suara. Semua orang memberikan suaranya. Orang-orang Bajo cenderung berkomunikasi, mengobrol dan fasih berbicara. Dengan demikian tak perlu bagi seorang Bajo untuk melihat lawan bicaranya ketika orang mengajaknya berbicara.
Anak-anak belajar berbicara tetapi juga berteriak. Bentuk bahasa tersebut sama pentingnya seperti bahasa itu sendiri. Pembelajaran ini dilaksanakan berkat bantuan kemlompok mereka.pengenalan dan peniruan mereka dilakukan secara otomatis.

BAB VIII  : Pamali dan Pelanggaran
Orang Bajo sangat mempercayai adanya pamali. Setiap orang yang tidak menaati pamali maka akan dianggap melakukan pelanggaran atau kesalahan. Maka, setan memukulnya dengan serampangan. Setiap orang percaya terhadap alasan yang dikemukakan oleh orang yang dituduh bersalah. Lalu kesalahan itu akan diartikan sendiri-sendiri oleh orang lain.

BAB IX     : Upacara
Pada pagi hari itu, terlihat adanya pembagian pekerjaan di antara orang-orang yang bekerja di dalam dua ruangan, sebagian di serambi dan sebagian lagi di dapur. Hal ini karena adanya pembagian upacara yaitu: upacara sunatan, upacara gunting rambut, doa-doa empat puluh hari meninggalnya seorang saudara dan pesta pernikahan anggota suatu keluarga.
Dalam upacara pernikahan, ketika merundingkan tentang jumlah maskawin, kepala desa mewakili pihak laki-laki. Demikian dengan pelaksanaan upacara sunatan, kepala adat lah yang berperan penting dalam melaksanakan proses sunatan.
Perasaan hormat kepada orang yang lebih tua sudah ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Orang Bajo berusaha untuk tidak menodai kehormatan orang-orang yang lebih tua. Bagi orang Bajo, apabila seorang laki-laki/perempuan menikah,mereka telah merampas pasangannya dari mertuanya. Jadi ia harus menghormati mertuanya.


BAB X       : Kehidupan Masyarakat Desa
Penangkapan ikan duyung dan upacaranya, orang bajo telah lama tidak menemukan ikan duyung bertahun-tahun. Hari ini mereka menemukan ikan duyung dan akan dibagikan kepada semua masyarakat desa bajo. Ada teknik untuk menangkap ikan duyung yaitu dengan memerhatikan ketajaman pendengaran binatang itu. orang-orang jongkok mengelilingi ikan duyung tersebut. Salah satu diantara mereka memegang golok dan memerhatikan duyung itu sambil menyentuh goloknya pada kulit binatang itu, ia memberi beberapa tanda pada tubuhnya. Teman-temannya dengan menjulurkan tangan mereka, pada gilirannya menunjukkan bagian mana yang akan dipotong. Pembicaraan yang panjang lebar mengaur hal-hal kecil itu sehingga merupakan upacara tersendiri.orang memotong-motong seekor ikan duyung menurut urutan waktu yang dianjurkan oleh adat, jika tidak ia bisa dipissalah dan harus membayar denda. Semua masyarakat bajo mengetahui ketentuan ini.
Adat istiadat dalam orang bajo di desa Jaya Bakti, saat upacara Orang Bajo memakai bendera ula-ula yang berbentuk manusia, tetapi juga menggunakan bendera lain, lamme, yang berwarna-warni seperti ula-ula di Torosiaje. Kedua bendera ini digunakan bersama-sama pada saat upacara misalnya pada upacara sunatan. Ula-ula sudah ditancapkan sehari sebelumnya dipintu masuk rumah tempat upacara akan diselenggarakan. Seperti bendera putih di Torosiaje, ula-ula ditancapkan untuk mengusir penyakit menular. Arwah-arwah leluhur terdapat didalam ula-ula ini. Duota yang memasukkan arwah-arwah leluhur itu kemudian membacakan doa-doa bagi mereka. Dalam kesempatan ini semua sandro dan dukun berkumpul. Semua sesaji yang disiapkan kemudia ditaruh dalam sebuah perahu layar kecil dengan diberi bendera putih. Penduduk diluar desa berhak mengambil makanan yang ada didalam perahu tersebut tetapi penduduk yang ada didalam tidak boleh mengambilnya karena kalau tidak penyakit tersebut akan terjangkit kembali.
BAB XI     : Noana dan Kappunang
Upacara noana kappunang itu mencangkup sajen yang dibuat untuk setan laut sebab “ia bisa marah kaalu tidak menerima bagiannya dan ia dapat memperpanjang masa sakitnya dan menahan sumanganya. Kepercayaan Bajo secara halus mencari keseimbangan, keredaan dan ketegangan. Berkat logika tadi yang sesuai dengan dunia manusia. Jadi, sajen itu mungkin manjur. Bukan kebetulan jika dukun memberikan sajen kepada setan darat (Noana). Apakah mereka bisa memberikan sajen tanpa membuka percakapan dengan setan? Tentu tidak, orang bajo tidak memahaminya demikian. Percakapan itu perlu diadakan meskipun dengan kekuatan jahat. Ialah yang menahan sungawa (jiwa). Untuk tujuan itulah si sakit menyiapkan talam berisi sebuah keris yang dibungkus dengan kain putih sebuah payung dan lima sen rupiah. Mbo me mengambil sajen untuk setan darat. Ia menjatuhkan beberapa potong kemenyan pada bara api lalu memutar-mutarkan sajen diatas asap keputihan dan di atas kepala yang sakit sambil menggumamkan mantra.

BAB XII    : Peraturan-Peraturan
Dalam masyarakat bajo, arah timur sebuah larangan yang tak biasa. Dalam masyarakat bajo tidak mengenal arah timur, mereka menyebut dengan arah selatan. Tidak ada kata timur dalam bahassa bajo, mereka tidak boleh mengucapkannya karena dilarang. Istilah ini tidak digunakan oleh orang bajo. Mereka tak pernah pergi ke arah tersebut. Secara emplisit mereka menyangkal arah timur. Tetapi arti dan asal-usul hal yang dilarang itu juga dipatuhi seperti larangan itu sendiri. Sudah barang tentu tidak ada hukuman yang akan menghancurkan mereka pada saat mereka mengucapkan kata timur, tetapi mungkin lama-lama mereka akan merasa terancam oleh beberapa musibah jahat sebagai pembalas dendam.
Semua itu dimantapkan oleh hubungan orang bajo dengan saudara kembarnya, tamuni (ari-ari) yang dibuang kelaut. Bagi orang bajo, masyarakat bajo berasal dari laut, semangat hidup mereka berasal dar ari-ari dan sejak saat itu boleh dikatakan hampir sama saja (laut merupakan tempat ari-ari). Hubungan orang bajo dengan ari-ari dikenal dan dialami oleh semuanya bahkan oleh anak-anak. Hubungan ini tidak mengistimewakan siapapun juga. Tujuan orang bajo adalah memelihara persekutuan ini, “orang membuang ari-ari kelaut agar ia melancarkan hubungan orang bajo dengan laut, agar si anak berenang dengan baik ketika ia muda, dan agar dikemudian hari mereka mengikuti orang tuanya ke laut.
Yang terpenting dalam orang bajo adalah bahwa dukun memainkan perubahan yang terjadi. Orang bajo ingin merasakan, mendengarkan  dan melihat adat istiadat mereka dimantapkan. Pertunjukan itu merupakan cara mereka untuk mencapai tujuan tersebut. Hal itu penting bagi mereka. Mereka datang untuk menghargai cara dukun itu “menjalankan perannya” dan untuk mendengarkan setan mengingatkan mereka bahwa mereka harus menghormatinya. Pada akhirnya pertunjukan ini sebagian merupakan alasan yang secara sosial telah disepakati orang bajo untuk melestarikan kepercayaan mereka dan menguatkan komunikasi mereka. Kepala adat melambangkan kedudukan ini dengan baik. Baginya adat adalah yang paling terpenting, yang paling utama. Setan itu terutama berada didalam manusia, oleh sebab itu orang harus menguasai empat unsur yang membentuknya yaitu angin,air, api dan tanah.
BAB XIII  : Dunia Bajo dan Dunia Setan
Suatu hal yang rupanya sudah nyata adalah bahwa istilah setan yang diperkenalkan oleh islam telah digunakan orang bajo untuk menyebut kekuatan si jahat. Padahal dahulu orang bajo berpendapat bahwa semua hal yang jahat dan berbahaya tidak selalu berasal dari satu kekuatan saja. Dalam hal ini jika orang bajo menggunakan kata setan, mungkin hal ini mengenai roh jahat tertentu yang berbeda dengan lainnya yang tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Jadi kata setan digunakan untuk basa-basi saja dan tidak mempunyai arti dan fungsi apa-apa. Orang bajo melihat tanda setan dari gejala dan kekuatan alam. Dari sini mereka merancang ide tentang penyakit itu dan memberi penjelasan tentang gejala dan kekuatan alam ini. Tak ada yang dirahasiakan, tak ada kekaburan. Animisme bajo sangat mudah menyesuaikan diri terhadap ide suatu kekuatan maha tinggi yang mempunyai kuasa untuk mengambil bentuk apa pun yang diinginkannya. Orang bajo mengenali kemiripan setan dengan manusia.
BAB XIV  : Rahasia Terakhir Negeri Antah-Berantah
Dahulu hubungan orang bajo dengan setan terjalin dengan baik. Setan dan manusia serupa. Manusia hidup kekal dan semua orang adalah duota. Tetapi orang juga tidak dapat menjalin hubungan baik dengan setan, juga tidak dapat mematuhi aturan-aturannya. Sejak saat itulah setan dapat berbuat jahat. Jika seseorang tidak menaati peraturan itu maka kejahatan akan datang. Orang harus berhati-hati menjaga perasaan setan dan memberinya sajen. Dalam hal ini bentuk perdukunan bajo memiliki keistimewaan karena para duota diduga sekaligus dapat menjadi,pertama-tama dungkoka yang mewujudkan setan lalu orang bajo seperti yang hidup pada jaman dahulu kala dan akhirnya identitas orang bajo mitologis ini “yang pulang ke alamnya” dan juga makhluk yang diwujudkan oleh dungkoka pada saat pertunjukan duota.
            Pandangan bajo pada saat itu yaitu tentang identitas dewa, pengertian tentang roh halus, nenek moyang, hal-hal yang suci dan jiwa. Pada orang bajo terdapat kumpulan dewa-dewa tanpa nama yang tidak mempunyai pembagian, tempat atau fungsi yang jelas. Kumpulan ini merupakan kosmologi yang tak tampak perbedaannya dan termasuk dunia manusia namun juga sekaligus khas. Orang bajo dan dukun-dukun tidak memahaminya diluar atau didalam dunia orang-orang hidup.
            Orang bajo adalah saksi-saksi dan orang-orang yang selamat dari gelombang air pasang yang benar-benar pernah terjadi. Setan (yang lalu dipanggil papu dan hanya dianggap sebagai roh halus) dianggap bertanggung jawab atas bencana itu, atas hukuman itu. peristiwa itu mengakhiri hubungan yang sebelumnya terjalin dengannya. Hubungan lain dimulai dan dikuasai oleh ketakutan yang untuk selanjutnya dilambangkan oleh setan. Manusia dan setan lalu dapat dibedakan. Sejak saat itu ssetan membuat penyakit. Ia menjadi kekuatan diluar manusia.













RESUME BUKU
ORANG BAJO “Suku Pengembara Laut”

UNTUK MEMNUHI TUGAS MATA KULIAH
Studi Masyarakat Indonesia
Yang di bina oleh Bapak I Dewa Putu Eskasasnanda, S.Ant, M.A



Oleh :

Chilma Alawiyah                    120741421192
Finda Eka Yulviana                120741421179
Iin Roifatul Zanah                  120741421212





 








UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
November 2014

Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi



Judul buku: Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi
Pengarang: Adi Prasetijo
Penerbit: Wedatama Widya Sastra, 2011
Resume: Mahasiswa Pendidikan IPS UM 2012
 
Sekitar dua tahun lalu seorang kawan memamerkan tulisannya. Sebuah thesis S-2. Kawan saya ini tidak pintar sangat, tapi tekun dan pandai memanfaatkan peluang. Saat bekerja di Warsi, tak disia-siakannya kesempatan untuk memahami kehidupan Orang Kubu. Obyek yang kemudian menjadi bahan masternya. Bahan yang kemudian menjadi inti buku  “Serah Jajah” ini. Dominasi Orang Melayu terhadap Orang Kubu di Jambi dan bagaimana Orang Kubu melawan dominasi itu. Masyarakat Melayu Jambi dibagi menjadi dua sub kebudayaan yaitu Melayu yang ada didaerah hulu (pedalaman) atau disebut Ulu dan kebudayaan masyarakat Melayu yang ada dihilir (pesisir) atau disebut ilir.
Orang rimba merupakan suku bangsa yang hidup berdasarkan meramu, mereka juga hidup berburu dan mecari ikan mereka mengenal berladang dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pertanian dan perkebunan, khususnya tanaman karet. Penggunaan terminologi Orang Rimba atau Anak Dalam  untuk mengganti Kubu demi kehalusan. Kata kubu berkonotasi negatif, yang berarti bodoh, bengak, keras kepala, dan tak mau mengikuti aturan. Padahal, di masa lalu kata kubu merujuk kepada mereka yang tinggal di hutan. Mengubu berarti berdiam di hutan selama masa tertentu.
Mengutip Loeb, 1927, “..Kubu berarti orang-orang yang makan segalanya termasuk makanan yang tidak bersih, dimana mereka tidak hidup di dalam rumah, dan tubuh mereka tidak bersih sebagai akibat penolakan mereka terhadap air. Orang-orang yang mempunyai karakter yang rendah…”. Pada saat ini tidak semua waris dan jenang berfungsi seperti dahulu. Sementara orang Terang yang berfungsi sebagai jenang tak mampu melakukan tugasnya karena hanya bertahan dua tiga hari didalam hutan. Kebanyakan orang terang yang berfungsi sebagai jenang mau seenaknya saja tetapi ketika ada masalah tidak mengurus layaknya jenang yang baik.
Semakin terbukanya hutan dan tingkat hubungan dengan Orang Terang yang semakin intensif membuat ketergantungan Orang Rimba terhadap waris dan jenang semakin menurun. Pembukaan hutan memperlancar Orang Rimba dengan Orang Terang tanpa waris dan jenang. Kini Orang Rimba dituntut dapat berunding dan menyeleaikan masalah dengan Orang Terang tanpa waris dan jenang.
Siapa Orang Rimba itu? Mereka sebagai keturunan Melayu juga, yang karena suatu hal (melawan Belanda) lalu melarikan diri dan tinggal di hutan. Ini menarik, dan sesuai dengan teori antropologi sebelumnya bahwa Orang Rimba berasal dari Ras Proto-Melayu, bukan Veddoid.
Orang Rimba melakukan perlawanan terhadap dominasi dan diskrimanasi dari suku mayoritas Orang Melayu Jambi. Perlawanan ini antara lain dengan memilih hidup mirip Orang Melayu. Mereka menetap di sebuah kampung, memeluk agama Islam, bahkan mengganti nama mereka sesuai nama Melayu. Mereka pun lebih suka disebut sebagai Suku Anak Dalam atau dikenal juga sebagai kubu jinak. Namun ada juga yang memilih mempertahankan identitas aslinya sebagai Orang Rimba yang hidup di hutan dan mempertahankan nilai-nilai yang dianut nenek moyangnya. “Usir babi itu. Ini rumah orang islam. Najis !”. Ucapan tersebut lumrah jika diucapkan seorang muslim di Jambi karena babi merupakan binatang yang diharamkan, namun menjadi lain jika diucapkan orang rimba karena babi merupakan binatang yang dekat dengan kehidupan sehari. Islam bagi orang rimba air panas merupakan agama yang menuju kebaikan, agama yang akan menebus dosa. Menurut mereka, apa yang sudah mereka lakukan jauh dari kebaikan, makan makanan yang diharamkan, hidup tanpa pakaian, hanya mengenakan cawot, hidup dihutan dengan cara yang menjijikkann jauh dari kesehatan, serta tidak menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Orang rimba yang masuk islam melanggar adat (mencampok adat) karena mencoba mencampurkan antara dunia oraang terang dan dunia orang rimba yang batasnya jelas. Jika orang rimba masuk ke dunia orang terang dan orang terang masuk ke hutan maka dunia segera kiamat. Orang rimba air panas dan sungai keruh atau Singosari selama ini dikenal telah masuk islam. Ada 34 orang rimba air panas yang mengakui secara terbuka bahwa mereka telah memeluk agama islam.
Tentu saja konsekuensi pilihan ini menimbulkan masalah baru yang berkait erat dengan perubahan pola hidup, kebiasaan, ekonomi, dan lingkungan yang mereka hadapi. Apalagi, walau sudah meniru cara Melayu, bagi Orang Melayu mayoritas, Orang Rimba tetaplah Orang Rimba. Tak ada yang membuat mereka diterima sejajar, sederajad dengan Orang Melayu. Diskriminasi perlakuan ini masih mereka terima. Mungkin juga sampai sekarang (karena data dalam buku ini diambil penulis saat bekerja sekitar tahun 1997-2000).
Penulis mengisahkan pengalamannya ketika bersama pemandunya yang Orang Rimba bertamu di rumah Orang Melayu. Penulis bebas masuk ke dalam rumah, makan dan minum dengan piring dan gelas yang layak. Sementara si pemandu yang Orang Rimba tetap di luar rumah, duduk di lantai kayu, makan dan minum dari piring dan gelas plastik yang khusus disediakan tuan rumah untuk Orang Rimba. Keesokan harinya, tatkala si penulis hendak menggunakan gelas dan piring bekas Orang Rimba itu, penulis dilarang oleh tuan rumah.
Kisah lain tentang seorang perempuan Rimba bersama ketiga anaknya yang meminta nasi kepada warga kampung. Si Orang Melayu lalu menyuguhkan nasi di atas daun pisang, dan diletakkannya di atas tanah di halaman rumah. Keempat Orang Rimba lalu melahapnya begitu saja. Membaca pembedaan perlakuan ini, tentu membuat miris hati. Pembedaan yang diperkuat sikap dan kebijakan pemerintah yang memandang Orang Rimba atau Kubu itu suku terasing yang harus dibina dan dijinakkan dalam kawasan pemukiman tertentu.
Kebijakan pemerintah ini kelak justru mendorong kuatnya dominasi Orang Melayu. Orang Rimba jadi makin terpinggirkan. Sementara di pihak lain, alam dan lingkungan hidup asli Orang Rimba, dalam hal ini hutan di kawasan taman nasional makin dijarah dan dihabiskan.
Mmenjelaskan siapa Orang Kubu alias Rimba, bagaimana mereka hidup dan bereaksi terhadap perubahan di sekitarnya, tapi juga konflik perebutan alam (hutan) yang dulunya dihuni Orang Rimba di antara banyak kepentingan. Kita diajak memahami konflik tentang kebun karet, sawit, atau nasib pohon rotan dan damar. Kita diajak merenungkan tradisi melangun yang sebetulnya berisi kearifan lokal, tentang penyuburan tanah paska digarap, hingga akhirnya berubah menjadi ajang perlindungan kawasan hutan Orang Kubu. Kita pun diajak  berpikir bahwa Orang Kubu bukanlah benar-benar bodoh, tapi bisa pura-pura bodoh untuk mempertahankan kepentingannya.
Keseharian orang rimba saat ini mengggunakan keseharian kelompok orang pada umumnya setelah memasuki kehidupan seperti orang terang. Para wanita bangun jam 6. Mereka lalu membuatkan teh atau kopi setelah itu menyapu rumah. Anak-anak segera mandi dan berangkat sekolah. Anak-anka yang tidak bersekolah, bermain di depan rumah atau diruang tamu. Kemudian ayah duduk di ruang tamu lalu makan pagi bersama. Siang hari para lelaki berkerja pada bidang masing-masing. Sejak babi diharamkan, orang rimba air panas kesulitan mendapatkan lauk. Mereka hanya makan ikan. Ayam hanya mereka makan ketika mereka sedang mengadakan acara selamatan.
Mengenai etnografi kehidupan orang rimba atau suku anak dalam di Jambi. Serah naik jajah turun merupakan perlambangan dari hubungan dominasi minoritas antara orang rimba dan orang melayu. Pengalaman penulis yang telah beberapa tahun tinggal bersama dengan komunitas orang rimba sangat memperkaya pengembaraan informasi dan kejadian pada kehidupan orang rimba itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya. Haruskah mereka menjadi orang rimba atau memilih untuk tidak diakui sebagai orang rimba.